Opini

Stop Tot Tot Wuk Wuk!

Stop Tot Tot Wuk Wuk!
Kecil Besar
14px

Oleh: Farid Wajdi

Beberapa pekan terakhir, jagat media sosial Indonesia diramaikan istilah “Tot Tot Wuk Wuk”. Ungkapan ini meniru bunyi sirene dan lampu strobo kendaraan pengawal pejabat atau tokoh penting saat berada di jalan raya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Di balik kelucuan istilah tersimpan keresahan publik terhadap penyalahgunaan fasilitas yang seharusnya diperuntukkan kepentingan darurat (Tirto, 2025).

Fenomena ini melampaui sekadar guyonan warganet. Banyak pengguna jalan terganggu karena kendaraan pejabat atau rombongan tertentu kerap memanfaatkan sirene dan strobo untuk membuka jalan, termasuk di jalan tol yang seharusnya bebas hambatan (CNN Indonesia, 2025).

Seorang warganet menulis: “Rakyat sudah bosan dengan tat tet tot tet tot & strobo kalian di jalan raya. Jangan salahkan rakyat kalau kalian diNEPxxkan di jalan” (Media Sosial, 2025).

UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan membatasi penggunaan sirene dan strobo untuk kendaraan tertentu: polisi, ambulans, pemadam kebakaran, dan kendaraan khusus yang diatur undang-undang.

Kendaraan prioritas mencakup ambulans mengangkut pasien, pemadam kebakaran saat bertugas, iring-iringan jenazah, dan konvoi khusus berizin polisi.

Dalam praktik, banyak kendaraan pejabat memanfaatkan fasilitas ini untuk menghindari kemacetan, bukan kepentingan darurat. Publik menyaksikan ketidakadilan nyata, fasilitas negara dipakai untuk kepentingan pribadi (Suara Surabaya, 2025).

Sirene dan strobo yang semula simbol urgensi kini menjadi simbol dominasi. Perilaku ini mencerminkan budaya pejabat yang menempatkan kepentingan pribadi di atas hak publik.

Jalan raya berubah menjadi arena pertunjukan kekuasaan, bukan sarana mobilitas yang adil dan aman.

Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk muncul sebagai protes kreatif publik. Publik memasang stiker dengan pesan seperti “Pajak kami ada di kendaraanmu. Stop berisik di jalan Tot Tot Wuk Wuk!” (Media Indonesia, 2025).

Meme, video, dan konten kreatif lain di media sosial menjadi medium kritik sosial yang cepat menyebar dan viral. Meme menampilkan sirene dan strobo di jalan macet dengan caption satir, menyoroti pejabat yang semena-mena (Media Sosial, 2025).

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan penggunaan fasilitas harus sesuai ketentuan dan hanya untuk kepentingan sah (Tirto, 2025).

Pernyataan resmi ini menghadapi tantangan karena praktik lapangan tetap menunjukkan penyalahgunaan.

Fenomena Tot Tot Wuk Wuk juga menyingkap psikologi pejabat. Penggunaan fasilitas untuk menghindari kemacetan mencerminkan perilaku narsistik dan dominasi simbolik.

Sirene menjadi indikator status, bukan kebutuhan darurat. Publik menilai ini bentuk elitisme, di mana pejabat memosisikan diri di atas hukum dan aturan yang berlaku bagi semua orang.

Ivanovich Agusta, sosiolog IPB University, menilai gerakan ini sebagai bentuk civil disobedience modern. Publik menegur penyalahgunaan kekuasaan dengan cara kreatif, cepat, dan berdampak nyata. Meme, stiker, dan konten viral menjadi sarana moral control, menegur pejabat tanpa demonstrasi konvensional (Detik, 2025).

Kasus nyata memperkuat urgensi gerakan ini. Agustus 2025, kendaraan dinas dengan pelat khusus menggunakan sirene dan strobo di jalan tol untuk menghindari kemacetan tanpa izin pihak berwenang (Inilah.com, 2025).

Di Jakarta, rombongan pejabat memaksa kendaraan lain memberi jalan, memicu kemarahan publik (Blok-a.com, 2025). Praktik ini memperkuat persepsi bahwa fasilitas negara bisa dipakai untuk kepentingan pribadi pejabat.

Fenomena Tot Tot Wuk Wuk menyoroti ketimpangan sosial dan budaya. Publik menyaksikan sirene sebagai simbol dominasi, bukan perlindungan. Gerakan kreatif menuntut makna sirene dikembalikan sebagai tanda urgensi, bukan alat memuluskan jalan pejabat (Detik, 2025).

Aparat penegak hukum menghadapi ujian integritas. Polisi harus menegakkan aturan secara konsisten. Pengawasan penggunaan strobo dan sirene menjadi tolok ukur profesionalisme aparat sekaligus legitimasi hukum. Ketegasan aparat menentukan apakah gerakan publik berhenti pada viralitas atau menjadi katalis perubahan nyata (Tribratanews Polri, 2025).

Fenomena ini menandai evolusi budaya kritik publik. Publik tidak lagi pasif; simbol kekuasaan yang disalahgunakan dapat dikoreksi melalui media sosial secara kreatif dan melibatkan banyak orang. Kontrol sosial ini menembus batas-batas tradisional demonstrasi fisik (Detik, 2025).

Teknologi memperkuat tekanan sosial. Media sosial memberi setiap orang suara yang mampu memengaruhi opini dan persepsi, bahkan perilaku pejabat. Sirene dan strobo, simbol dominasi, kini menjadi bahan kritik, edukasi, dan satir. Konten kreatif mengedukasi publik tentang batas penggunaan fasilitas resmi (Media Sosial, 2025).

Beberapa akun menyarankan solusi konkret: sistem izin digital untuk kendaraan pengawal dapat memantau penggunaan sirene dan strobo secara real-time, memastikan hanya kendaraan darurat yang berhak memanfaatkan fasilitas tersebut (Suara Surabaya, 2025). Integrasi teknologi dengan akuntabilitas ini menjadi bentuk pengawasan publik yang efektif.

Fenomena Tot Tot Wuk Wuk menegaskan pejabat publik harus memosisikan kekuasaan dalam bingkai tanggung jawab. Publik kini memiliki alat pengawasan cerdas, kreatif, dan berdampak. Viralitas konten bukan sekadar hiburan; tekanan sosial bisa memengaruhi reputasi pejabat sekaligus mendorong perubahan perilaku nyata (Tirto, 2025).

Fenomena ini juga membuka prediksi jangka panjang. Apabila aparat dan pejabat tidak menyesuaikan perilaku, ketidakpercayaan publik terhadap institusi semakin mengakar. Sirene dan strobo yang disalahgunakan akan menjadi simbol ketidakadilan struktural, memperkuat persepsi elitisme, dan memicu eskalasi kritik sosial yang lebih luas.

Sebaliknya, penegakan aturan yang konsisten dan transparan akan memperkuat legitimasi hukum dan meningkatkan rasa keadilan publik.

Fenomena Tot Tot Wuk Wuk menunjukkan demokrasi bukan sekadar prosedur formal, tetapi juga praktik sosial. Publik memanfaatkan kreativitas digital sebagai instrumen kontrol moral, menekankan pentingnya keselarasan antara kekuasaan, tanggung jawab, dan kepentingan publik.

Pejabat yang mengabaikan kritik kreatif ini bukan hanya menghadapi viralitas, tetapi juga risiko reputasi jangka panjang.

Kekuatan gerakan ini terletak pada kombinasi humor, kritik, dan tekanan sosial yang menyebar cepat. Sirene dan strobo yang semula menjadi simbol kepentingan pribadi pejabat, kini diubah menjadi simbol pengawasan kolektif publik.

Setiap kendaraan yang melanggar aturan menjadi perhatian warganet, menunjukkan bahwa kekuasaan tidak bisa berjalan tanpa pengawasan aktif dari publik yang sadar, kritis, dan kreatif.

Tot Tot Wuk Wuk menegaskan transformasi budaya sosial di Indonesia. Kritik publik tidak lagi pasif, tetapi proaktif, menggabungkan teknologi, kreativitas, dan viralitas sebagai alat perubahan.

Perilaku pejabat yang semena-mena terhadap fasilitas negara menghadapi tekanan moral dan sosial yang nyata. Publik tidak hanya menilai, tetapi memaksa perubahan, mengingatkan setiap tindakan memiliki konsekuensi.

Gerakan Tot Tot Wuk Wuk menjadi cerminan kedewasaan demokrasi digital. Pejabat publik yang memanfaatkan fasilitas resmi untuk kepentingan pribadi bukan sekadar melanggar aturan, tetapi juga menghadapi kritik kolektif yang membentuk opini, persepsi, dan praktik sosial.

Sirene dan strobo kembali menjadi simbol urgensi, jika dipatuhi, atau simbol ketidakadilan jika disalahgunakan, membentuk dinamika kekuasaan dan akuntabilitas yang nyata di jalan raya dan ruang publik digital.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE