Oleh Dr. Suheri Harahap, M. Si
Masyarakat Sumatera Utara sangat heterogen memiliki akar historis kebudayaan yang saling asah, asih, asuh antarkelompok etnis dan agama hidup berdampingan dengan rukun dari dulu.
Masuknya perantau datang karena alasan pendidikan, perkawinan, pindah kerja dan mencari hidup dengan alasan ekonomi di daerah asal penyebab migrasi ke Kota Medan sebagai ibukota Sumatera Utara.
Migrasi secara alamiah dan ikut mengisi berbagai sektor kehidupan terutama birokrasi. Sebab dalam penelitian Usman Pelly salah satu misi budaya Mandailing Angkola adalah di birokrasi dan aparat seperti polisi dan TNI, kesehatan sedikit diwariskan orangtua di bidang wiraswasta/pedagang seperti orang Minang. Tradisi migrasi dan adaptasi suku Mandailing di perantauan hidup berdampingan secara damai di perantauan karena membawa identitas kebudayaannya.
Strategi Kebudayaan
Doktrin budaya ini dalam sejarah Sumatera Utara telah melahirkan banyak tokoh yang berhasil apalagi di era Gubernur Marahalim Harahap dan Raja Inal Siregar. Lahirlah gerakan Marsipature Hutana Be (Martabe), bahkan sering disebut era politik birokrasi bermarga dari Tapsel yang berasal dari dua daerah Tapanuli Selatan dengan adat Angkola bermarga Harahap dan Siregar, kemudian dari Mandailing bermarga Nasution dan Lubis.
Proses kebangkitan marga di perantauan menjadi bentuk kesadaran identitas yang wajar mencari kekerabatan dan menguatnya rasa kedaerahan disamping itu memberi nilai-nilai positif dalam pembangunan terutama dilihat dari perspektif kearifan lokal di ranah birokrasi. Juga ada Kampung Mandailing, tokoh legendaris pendiri Pemuda Pancasila di Sumut, Alm. Efendy Nasution atau disapa Pendi Keling. Mereka menjadi tokoh yang berbaur dan ikut memberi sumbangsih pembangunan di Sumatera Utara dan beberapa tokoh lainnya di lintas pemerintahan.
Kerukunan Lintas Etnis dan Agama
Pola interaksi meski berbeda agama, budaya dapat menjadi pemersatu, perekat lewat sistem kekerabatan Dalihan Natolu, pintu kuatnya Sumut sebagai daerah multi etnik dari berbagai tokoh lintas etnis, terdapat peran tokoh budaya lokal beretnis Mandaling dan Angkola memberi kontribusi dalam membangun harmoni di Sumut, banyak tokoh aktif di FKUB dan FORKALA, MUI dan UIN SU berkontribusi memberikan gagasan untuk Pemimpin Sumut sebut misalnya dulu ada Prof. Ridwan Lubis yang aktif membidani lahirnya FKUB dan Medan Bestari. Menuju terwujudnya kolaborasi Sumut dibawah kepemimpian Bobby Nasution sebagai barometer Indonesia yang direkat dalam bingkai persatuan lintas etnis.
Figur Bobby Nasution yang sejak awal pesta adat yang memberi dampak yang luar biasa bagi Indonesia dan manca negara, begitu juga harapan kue pembangunan dari pemerintah pusat untuk Medan telah terbukti dan saatnya setelah Gubernur akan ada kue pembangunan untuk Tabagsel dan daerah tertinggal seperti Kepulauan Nias dan ini telah dikunjungi oleh Bobby Nasution.
Percepatan pembangunan di bawah kepemimpinan Bobby Nasution menuju Sumut Berkolaborasi, hidup aman dan terbuka lapangan kerja baru tetapi tetap tidak melupakan harapan ulama dari Mandailing.
Strategi kepemimpinan Bobby Nasution diharapkan mampu mengelola kekayaan sumber daya alam Sumut sebut misalnya potensi tambang emas di Mandailing dan Tapsel bagaimana deviden selama ini sudah adilkah? Apakah cuma 5 persen (70% untuk propinsi, 30% untuk kabupaten) bagaimana inovasi Gubernur atas BUMD baik di provinsi dan kabupaten untuk kemakmuran rakyat Sumut dan potensi alam lainnya. Pemimpin yang pro rakyat.
Penulis adalah Dosen UIN Sumut