Oleh: Dr. Bukhari, M.H., C.M
Sayangnya, banyak orang hari ini salah menempatkan makna takdir. Ada yang begitu sombong dengan pencapaiannya hingga lupa bersyukur, seolah-olah semua karena dirinya sendiri.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Hidup ini akan terasa ringan ketika kita menyadari satu hal sederhana: yang memang ditakdirkan untuk kita, tidak akan meleset; dan yang bukan milik kita, tak akan bisa kita genggam walau dengan kekuatan penuh. Inilah prinsip ketenangan yang diajarkan bukan hanya oleh pengalaman hidup, tetapi juga oleh ajaran Islam yang penuh hikmah.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan: “Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami.”(QS. At-Taubah: 51). Ayat ini meneguhkan bahwa segala sesuatu baik rezeki, jabatan, pasangan, maupun ujian telah digariskan oleh Allah jauh sebelum kita lahir. Di sinilah letak konsep hukum qadha dan qadar dalam Islam: manusia diberi kebebasan berikhtiar, namun hasil akhirnya tetap berada dalam kehendak dan keadilan Allah.
Namun, Islam tidak pernah mengajarkan kepasrahan buta. Dalam pandangan hukum Islam, ikhtiar adalah kewajiban. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah.” (HR. Tirmidzi). Artinya, manusia wajib berusaha sesuai kemampuan, karena usaha adalah bagian dari hukum sebab-akibat (sunnatullah) yang ditetapkan Allah. Tidak berusaha justru bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahi.
Sayangnya, banyak orang hari ini salah menempatkan makna takdir. Ada yang begitu sombong dengan pencapaiannya hingga lupa bersyukur, seolah-olah semua karena dirinya sendiri. Ada pula yang menyerah pada keadaan tanpa usaha, dengan alasan sudah takdir. Padahal keseimbangan antara usaha dan tawakkal adalah bentuk ketundukan sejati kepada hukum Allah.
Dalam perspektif hukum Islam dan sosial, keyakinan terhadap takdir seharusnya menumbuhkan kejujuran, menghindarkan manusia dari perebutan yang zalim, dan melahirkan kedamaian sosial. Ketika seseorang sadar bahwa jabatan, harta, dan jodoh adalah amanah, bukan hasil manipulasi, maka hilanglah iri, dengki, dan kerakusan yang menjadi sumber kerusakan hukum dan moral.
Maka, ketenangan hidup hanya hadir ketika hati pasrah tanpa menyerah, berusaha tanpa serakah, dan yakin bahwa Allah tidak pernah salah mengatur takdir. Karena sejatinya, takdir tak pernah salah jalur hanya manusia yang sering tersesat karena melawan arah Ilahi.
Penulis adalah Konsultan Hukum dan Mediator PMN LBH Qadhi Malikul Adil



  
    
  
  
  









