Oleh Dr. Andree Armilis
Tesso Nilo bukan hanya sebuah taman nasional. Ia adalah arena hidup yang kompleks, tempat bertemunya harapan manusia, habitat satwa langka, dan ketidakhadiran negara yang berkepanjangan. Kini, ketika negara datang dengan surat perintah relokasi dan kawat berduri, konflik yang sudah lama berakar akhirnya meledak ke permukaan.
Ribuan warga turun ke jalan. Protes bukan hanya soal tanah, tetapi tentang cara negara memahami keberadaan warganya. Apa yang tengah terjadi di Tesso Nilo bukan sekadar penertiban kawasan konservasi. Ia adalah drama panjang yang mengandung ironi: ketika negara absen terlalu lama, lalu hadir dengan tergesa dan bersenjata.
Negara Absen dalam Tatakelola Ruang
Dalam sosiologi tata ruang, ketimpangan pengelolaan kawasan seperti ini disebut sebagai bentuk dari kegagalan tata kelola terstruktur—ketika perangkat hukum, politik, dan kelembagaan tidak mampu (atau tidak mau) mengarahkan pembangunan ruang secara adil dan berkelanjutan.
Negara sebenarnya tahu bahwa kawasan Tesso Nilo telah lama dihuni dan diolah. Ratusan ribu hektare kawasan telah berubah, dari hutan tropis menjadi mosaik kebun sawit, rumah-rumah kayu, dan jalan tanah. Tapi negara memilih diam. Diam yang tidak netral. Sebab, dalam teori fungsi ganda negara, diam juga adalah bentuk tindakan politik—sebuah pembiaran sistemik yang menghasilkan legitimasi semu atas perambahan.
Ketika negara tak hadir sebagai pemimpin, masyarakat menciptakan sistemnya sendiri. Lahan dibagi, kebun dikelola, bahkan ada sekolah dan pasar di tengah kawasan yang secara formal disebut “ilegal.” Masyarakat hidup, tumbuh, dan beranak cucu di sana. Ini bukan okupasi liar dalam semalam. Ini adalah hasil dari proses panjang tanpa kepastian.
Konservasi yang Terjebak dalam Imajinasi Lama
Kini, ketika kerusakan ekologis mencapai titik kritis, negara hadir secara mendadak dengan satu kata kunci: relokasi. Tapi relokasi ke mana? Dengan apa? Dalam narasi ekologis negara, manusia dan alam dianggap dua entitas yang tak bisa berdampingan. Logika konservasi lama—yang memisahkan manusia dari alam demi menyelamatkan biodiversitas—masih digunakan, seolah kita hidup di abad ke-20.
Padahal, pendekatan seperti ini telah lama dikritik dalam teori _political ecology._ Gagasan bahwa konservasi harus steril dari kehadiran manusia telah terbukti menciptakan konflik baru, terutama di wilayah-wilayah _Global South_. Hutan dijaga, tapi manusia diusir. Alam dilindungi, tapi keadilan sosial diabaikan.
Sebaliknya, teori keadilan ekologis menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem yang juga berhak hidup layak. Konservasi tak harus berarti pengusiran, tetapi bisa menjadi proyek kolaboratif antara negara, komunitas lokal, dan aktor ekologis lain untuk menjaga ruang hidup bersama.
Krisis Kepercayaan dan Wajah Negara
Apa yang terjadi hari ini di Tesso Nilo adalah akumulasi dari ketidakhadiran negara sebagai fasilitator keadilan. Negara lebih dulu mengirim aparat daripada perencana sosial. Lebih cepat membuat ancaman hukum ketimbang menyusun peta jalan hidup baru. Ketika pendekatan kekuasaan mendahului pendekatan kemanusiaan, yang lahir bukan ketertiban, melainkan kemarahan.
Gelombang demonstrasi yang terjadi menunjukkan hal ini dengan jelas. Masyarakat bukan hanya menolak dipindahkan. Mereka menolak cara negara memperlakukan mereka. Seolah bukan sebagai warga, tetapi sebagai gangguan terhadap proyek konservasi.
Dalam teori sosiologi relasi negara-masyarakat, ini adalah bentuk alienasi struktural. Warga kehilangan perasaan dimiliki oleh negaranya sendiri. Negara menjadi entitas jauh yang hanya hadir dalam bentuk ancaman, bukan perlindungan.
Dari Proyek Steril Menuju Konservasi Hidup
Kita harus jujur mengakui bahwa membiarkan perambahan selama bertahun-tahun adalah kesalahan besar. Tapi menyelesaikannya dengan pengusiran massal adalah bentuk kesalahan baru yang lebih brutal. Relokasi tanpa rekognisi terhadap sejarah kehidupan masyarakat adalah kekerasan dalam bentuk kebijakan.
Negara butuh membongkar ulang cara berpikirnya tentang ruang, hutan, dan manusia. Konservasi tidak bisa lagi diperlakukan sebagai proyek steril yang hanya menghitung jumlah hektare dan populasi satwa. Ia harus dipahami sebagai bagian dari pembangunan sosial yang berkeadilan.
Masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan harus diajak sebagai mitra, bukan diasingkan sebagai penyusup. Pendidikan ekologis, insentif untuk perubahan pola tanam, pengakuan hak kelola komunitas, hingga skema ko-konservasi adalah pendekatan baru yang bisa diambil. Tidak mudah, tapi jauh lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Bercermin Di Tesso Nilo
Tesso Nilo bukan hanya soal menyelamatkan gajah dan harimau. Ia adalah cermin yang memantulkan bagaimana negara memperlakukan rakyatnya sendiri. Apakah kita melihat masyarakat sebagai beban, atau sebagai bagian dari solusi? Apakah negara hadir sebagai fasilitator kehidupan, atau sekadar operator dari proyek-proyek teknokratis?
Kita harus belajar dari masa lalu. Negara yang terlalu lama diam lalu tiba-tiba hadir dengan tangan besi bukanlah negara yang bijak. Itu adalah negara yang gagal membaca ruang dan waktu.
Dan jika Tesso Nilo terus ditangani dengan cara seperti ini, maka kita bukan hanya akan kehilangan hutan, tapi juga kehilangan kepercayaan—dan itu adalah kehilangan yang jauh lebih dalam.
***