Scroll Untuk Membaca

Opini

TPA Terjun Menjadi Ruang Ekonomi Dari Limbah, Ruang Bahaya Bagi Pemulung

TPA Terjun Menjadi Ruang Ekonomi Dari Limbah, Ruang Bahaya Bagi Pemulung
Kecil Besar
14px

Oleh: Wily Simbolon, S.Sos

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun di Marelan adalah wajah paradoks kota Medan. Di balik bau menyengat dan pemandangan yang kerap membuat orang menutup hidung, ribuan pemulung justru melihatnya sebagai sumber utama penghidupan. Dari tumpukan sampah yang dianggap tak berguna, mereka mengais plastik, logam, botol, hingga
kertas bekas yang masih bernilai ekonomis. Barang buangan itu menjadi penyambung hidup, bukan hanya secara simbolis, tetapi sungguh-sungguh menopang dapur keluarga.

Luas TPA Terjun mencapai 14 hektare, dibagi menjadi zona A, B dan C. Zona A sudah dinonaktifkan dan kini dioperasikan sebagai taman. Dua zona lainnya, kini tingginya mencapai 40 meter. Setiap harinya ada 200 – 250 truk sampah yang datang dan pergi. sampah itu lebih kurang mencapai di angka 1.200 ton per harinya yang masuk.

Namun, di sisi lain risiko besar mengintai. TPA yang hampir overload menyimpan potensi penyakit menular seperti diare, infeksi kulit, ISPA, hingga ancaman jangka panjang seperti gangguan pernapasan kronis. Pemulung, yang sehari-hari bersentuhan langsung dengan sampah, sering kali bekerja tanpa pelindung memadai. Situasi ini memperlihatkan ironis di satu sisi sampah menjadi kehidupan dan di sisi lain menjadi ancaman kehidupan pemulung.

Dalam perspektif Antropologi Ekonomi (James Scott), aktivitas para pemulung tidak  bisa sekadar dipahami sebagai pekerjaan informal semata, tetapi sebagai strategi bertahan hidup. Pemulung hadir sebagai aktor yang menegosiasikan nilai dari sesuatu yang dianggap tidak bernilai oleh masyarakat kota. Mereka mengekstraksi nafkah dari sisa konsumsi orang lain, sebuah bentuk ekonomi moral yang menegaskan bahwa sampah orang kota adalah penyambung hidup orang miskin.

Di titik ini, peran Negara terkhusus Pemerintah Kota Medan menjadi krusial. Pemerintah kerap memandang TPA semata-mata sebagai ruang teknis pengelolaan sampah, tanpa menyadari bahwa di sana hidup komunitas dengan struktur ekonomi dan risiko sosial tertentu. Pengelolaan sampah tidak bisa dilepaskan dari perlindungan kesehatan pemulung, pemberdayaan ekonomi alternatif, dan regulasi yang memastikan distribusi risiko lebih adil.

TPA Terjun mengingatkan kita bahwa persoalan sampah tidak hanya teknis, tetapi juga antropologis ia menyimpan relasi kuasa, ketidakadilan, dan strategi bertahan hidup. Dengan demikian, mengabaikan pemulung berarti mengabaikan dimensi sosial ekologis dari kehidupan kota itu sendiri. TPA Terjun di Marelan memperlihatkan paradoks Kota Medan, di satu sisi ia menjadi penyambung hidup bagi ribuan pemulung, namun di sisi lain ia menyimpan ancaman keselamatan dan kesehatan yang nyata. Kehidupan yang bertahan di atas gunungan sampah adalah cermin ketidakadilan ekologis di mana masyarakat miskin dipaksa menanggung risiko agar kota tetap bersih dan tertib.  WASPADA.id

Penulis adalah Ketua Jaringan Kebudayaan Rakyat Kota Medan

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE