Oleh: Imam Subchi
Di penghujung abad 19, tepatnya 1887, Pasukan Hindia Belanda mulai bergerak naik ke Dataran Tinggi Batak untuk berhadapan dengan pasukan Tuan Rondahaim Saragih, Raja Kerajaan Raya, yang sudah bersiap. Pasukan Belanda diutus untuk segera menuntaskan perlawanan rakyat Simalungun yang menolak tunduk kepada Kerajaan Belanda. Di samping itu, mereka juga mengecam keras pembukaan kebun milik orang Eropa yang mulai merangsek ke Simalungun.
Pasukan Belanda terdiri dari para kombatan terlatih yang dibekali pengetahuan perang modern. Berbeda dengan barisan perang Tuan Rondahaim yang hanya berbekal latihan perang lokal yang dipengaruhi oleh strategi perang dari para pejuang Aceh dan Gayo. Pertempuran tidak terlekakkan, dan masing-masing pihak saling berebut kemenangan.
Sekelumit gambaran di atas merupakan satu penggal dari banyak episode perang Tuan Rondahaim. Ia merupakan Raja Simalungun yang membuat jerih musuhnya, oleh sebab kepiawaiannya dalam mengalirkan serangan yang diperkuat dengan pertahanan yang solid. Menghadapi pasukan Belanda yang dibekali persenjataan modern, tentu tidak mudah. Ini menuntut kemahiran lintas pikiran, yang terkadang harus melabrak keterbatasan
Napoleon Der Bataks
Oleh sebab kelebihannya dalam mengorganisasikan pasukan, pengamat Hindia Belanda menjuluki Tuan Rondahaim sebagai Napoleon Der Bataks (kisah Perjuangan Tuan Rondahaim Saragih melawan Belanda di Sumatera Timur, 1828-1891Erika Revida Saragih [et.al], Medan, USU Press, 2013,), atau Napoleon dari Tanah Batak.
Publik tentu belum lupa pada sosok Napoleon Bonaparte, Pemimpin Militer dan Kaisar Prancis, yang mampu menerjang ganasnya hawa panas Mesir (1798-1801) untuk berhadapan dengan Inggris, dan hawa dingin angin utara untuk menaklukkan Rusia (Perang Patriotik, 1812).
Di balik kisah penaklukannya terekam kelebihannya dalam mengatur startegi perang. Dari sejumlah literatur yang ditemukan, julukan ini kemungkinan disematkan karena kesamaan strategi perang Napoleon dengan Tuan Rondahaim, khususnya di bidang pertahanan.
Di kalangan penggemar sepak bola, terdapat kalimat pertahanan yang baik adalah menyerang. Dalam beberapa kasus, istilah ini tentu harus dipikirikan ulang, jika diterapkan di ranah perang terbuka.
Tuan Rondahaim merupakan sosok yang gandrung akan pertahanan ketimbang membuang energi dengan menjemput lawan. Serangannya disembunyikan, agar musuh terdorong untuk masuk lebih dalam ke Dataran Tinggi Tanah Batak, sebelum nantinya dipukul oleh serangan kejutan. Hal ini terlihat dalam bentrokan yang terjadi antara dirinya dengan Belanda di Bandar Bejambu pada September-Oktober 1897 (lebih lanjut lihat WHM Schadee, Geschiedenis Van Sumatra’s Oostkust, terbit 1919).
Pada momen di atas, pasukan Rondahaim bersembunyi di sekitar kebun milik orang Eropa di Bandar Bejambu. Saat iring-iringan pasukan Belanda datang, dengan cepat, pasukan Raya segera membentuk pertahanan diri, yang disusul dengan serangan cepat dan langsung, dibekali dengan seni berlari dan terjangan yang rancak dan terampil. Pasukan Belanda yang tercekat, segera rebah diterjang oleh tombak, kelewang dan senjata tajam lainnya. Dilaporkan sebanyak 22 personel dari pihak musuh meregang nyawa. Pasukan lawan yang kabur ke Kampung Sibarau, tidak dikejar. Sebaliknya, pasukan Rondahaim diarahkan mundur, untuk serangan selanjutnya.
Jika diperhatikan, model berperang Rondahaim mirip dengan keahlian militer Napoleon Bonaparte. Di karir militer awal, ia menggunakan meriam sebagai bagian dari strategi pertahanannya. Ia lebih memilih untuk mengatur pasukannya dalam formasi defensif yang kuat, memanfaatkan artileri untuk menghancurkan musuh dari jarak jauh sebelum pertempuran jarak dekat terjadi. Pendekatan ini mencerminkan pemahamannya yang mendalam tentang pentingnya posisi dan keunggulan teknologi dalam perang.
Meskipun lebih suka bertahan, Napoleon tidak bekerja sendirian. Ia didukung oleh komandan kavaleri dan infanteri yang lebih agresif dalam membuka serangan ke kubu lawan. Kavaleri, dengan mobilitas tinggi, sering digunakan untuk mengepung dan mengacaukan formasi musuh, sementara infanteri bertugas menyerang secara langsung setelah musuh dilemahkan oleh artileri. Kolaborasi antara ketiga elemen pasukan ini—artileri, kavaleri, dan infanteri—menjadi kunci kesuksesan Napoleon dalam banyak pertempuran (lebih lanjut baca André Geraque Kiffer, Art of War of Napoleon Bonaparte, terbit 2021).
Pertempuran Tuan Rondahaim banyak yang terjadi di sepanjang Sungai Padang. Ia memanfaatkan sungai dan bukit sebagai benteng alami untuk menundukkan patroli Belanda. Merujuk pada sejumlah sumber lisan yang didapat dari sejumlah pemerhati sejarah di Tebing Tinggi, disebutkan bahwa koneksi Kerajaan Raya dan Kerajaan Padang sangat kuat untuk menangkal serangan lawan. Terdapat nama lain seperti Syahbokar Saragih, Panglima Dolog dan Datuk Ibrahim yang ikut membantu pasukan Tuan Rondahaim dengan menggunakan metode yang sama, yakni dengan memadukan pertahanan dan serangan cepat.
Masih dalam catatan Schadee, salah satu siasat lain dari Tuan Rondahaim adalah bekerjasama dengan para kuli yang bekerja di Dolog Sagala. Dari mereka, didapat informasi seputar perkebunan dan gudang penyimpanan panen milik pengusaha Eropa. Secara teratur, Tuan Rondahaim mengatur siasat perang lokal yang bernama musuh borngin, atau perang di malam hari. Barisan pasukan malam tentu mempunyai spesifikasi yang berbeda dengan pasukan yang bertugas di siang hari. Mereka mempunyai kecakapan penglihatan dan dapat bergerak dengan cepat di kala malam. DI samping itu, mereka juga dibekali pengetahuan geografis yang mumpuni, sehingga dapat sampai dengan cepat dan tepat ke lokasi perkebunan yang dituju.
Setelah sampai di perkebunan, pasukan Raya segera dibagi untuk membakar petak kebun dan gudang penyimpanan panen. Peristiwa ini menimbulkan huru hara di tubuh lawan, dan membuat perhatian mereka terpecah dalam konsentrasi serangan ke Raya. Akibatnya, pasukan Tuan Rondahaim mempunyai kesempatan waktu yang cukup panjang, untuk merencanakan serangan kejutan selanjutnya.
Kesuksesan serangan di malam hari sangat bergantung pada pengaturan pasukan yang cermat dan disiplin tinggi. Dalam kondisi gelap, koordinasi dan komunikasi menjadi tantangan besar, sehingga setiap unit harus memahami peran dan posisinya dengan jelas. Serangan malam hari memerlukan persiapan matang, termasuk pengintaian yang teliti terhadap posisi lawan dan pemilihan waktu yang tepat untuk memaksimalkan efek kejutan.
Strategi ini sering kali digunakan untuk menciptakan kebingungan dan kepanikan di barisan lawan, memanfaatkan faktor kegelapan sebagai keunggulan taktis. Dalam konteks ini, pengaturan pasukan yang baik menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa serangan dapat dilaksanakan dengan presisi dan efektivitas maksimal, sambil meminimalkan risiko kesalahan yang bisa berakibat fatal.
Tempat Layak
Kecerdasan Tuan Rondahaim dalam mengatur pasukan dan menerapkan strategi militer menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemimpin yang visioner dan tangguh. Dalam menghadapi Pasukan Belanda, ia tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga mengedepankan taktik dan strategi yang cerdas. Kemampuannya untuk memanfaatkan medan pertempuran, mengatur serangan kejutan, dan mempertahankan posisi dengan efektif membuktikan bahwa ia bukanlah orang yang gentar menghadapi kekuatan kolonial.
Atas jasanya dalam melawan penjajahan Belanda, Tuan Rondahaim layak mendapatkan penghargaan tinggi dari negara. Perjuangannya tidak hanya berdampak pada masyarakat Simalungun, tetapi juga berkontribusi pada upaya kolektif bangsa Indonesia dalam melawan kolonialisme.
Dengan memimpin pasukan yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, ia telah menunjukkan bahwa perjuangan melawan penjajah adalah tanggung jawab bersama, melampaui batas-batas suku dan wilayah.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Tuan Rondahaim bukan hanya sekadar penghargaan simbolis, tetapi juga upaya untuk memperkaya narasi sejarah Indonesia. Selama ini, banyak tokoh pejuang dari daerah yang kontribusinya belum sepenuhnya diakui dalam skala nasional.
Dengan mengangkat Tuan Rondahaim Saragih sebagai Pahlawan Nasional asal Simalungun, Sumatera Utara, Pemerintah RI dapat mengirim pesan bahwa setiap perjuangan, baik dari daerah mana pun, adalah bagian integral dari sejarah panjang kemerdekaan Indonesia.
Penulis: Prof. Dr. Imam Subchi, MA, Guru Besar Antroplogi Agama UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta