Oleh: Farid Wajdi
Bencana selalu menguji dua hal sekaligus: kapasitas negara dan kejujuran bahasa kekuasaan. Pada bencana Sumatera 2025, ujian itu memperlihatkan gejala yang berulang: negara bekerja, lalu menjelaskan pekerjaannya dengan kecepatan yang nyaris melampaui kecepatan bantuan itu sendiri.
Penjelasan menjadi lebih cepat daripada pertolongan. Klarifikasi lebih sigap dibanding distribusi. Validasi hadir bukan sekadar sebagai alat kerja, melainkan sebagai panggung pengakuan.
Di tengah kritik publik, negara tampak bergegas bukan hanya ke lokasi bencana, melainkan ke ruang wacana. Data diverifikasi, rapat ditayangkan, pernyataan disusun rapi. Semua diarahkan pada satu pesan implisit: kesungguhan telah dilakukan, kecepatan telah dibuktikan. Publik diminta percaya melalui narasi, bukan melalui pengalaman langsung.
Satir pun lahir dengan sendirinya. Banjir belum surut, lumpur belum mengering, tetapi kalimat resmi sudah berbaris rapi. Negara hadir terlebih dahulu di layar, menyusul kemudian di halaman rumah warga.
Dalam praktik kebencanaan, validasi data memiliki fungsi teknis yang tak terbantahkan. Ia menentukan jalur logistik, status darurat, serta koordinasi lintas lembaga. Masalah muncul saat validasi dipindahkan ke ruang depan sebagai bukti moral.
Proses administratif berubah menjadi pertunjukan ketertiban. Negara tidak sekadar bekerja, negara ingin terlihat bekerja.
Murray Edelman (1988) menyebut fenomena ini sebagai politik simbolik: tindakan administratif dikemas sebagai pesan ketenangan publik. Rapat, kunjungan, serta pernyataan terkurasi diproyeksikan untuk menciptakan rasa aman psikologis. Tujuannya bukan semata efektivitas lapangan, melainkan legitimasi persepsi.
Di sinilah validasi mengalami pergeseran makna. Ia tidak lagi bekerja sunyi sebagai fondasi keputusan, melainkan berbunyi nyaring sebagai klaim kesungguhan. Ketika data masih bergerak, bahasa sudah menetap. Ketika angka masih dihitung, kesimpulan sudah diumumkan.
Eko Teguh Paripurno (2019) mengingatkan satu prinsip dasar penanganan bencana: keputusan diambil dalam ketidakpastian. Negara yang menunggu kepastian absolut berisiko kehilangan waktu paling berharga. Publik menangkap ironi ketika validasi dipertontonkan sebagai kehati-hatian, padahal korban membaca jeda sebagai keterlambatan.
Sindiran publik lalu mengeras. Negara dinilai tekun mengukur penderitaan, tetapi belum cukup cepat menguranginya. Pernyataan terasa lebih padat daripada logistik. Klarifikasi lebih terdistribusi dibanding bantuan.
Objektivitas menuntut pengakuan atas kerja nyata yang berlangsung. Evakuasi terjadi. Bantuan bergerak. Aparat bekerja dalam keterbatasan geografis ekstrem. Namun objektivitas juga menuntut kejujuran lain: validasi tidak boleh berubah menjadi tameng moral. Ketika administrasi diposisikan sebagai bukti empati, negara terlihat sibuk membuktikan niat baik, bukan memotong jarak penderitaan.
Narasi Cepat, Aksi Tertatih
Bahasa negara bergerak cepat, bahkan sangat cepat. Kritik muncul, klarifikasi menyusul. Video viral beredar, bantahan segera dirilis. Negara tampak tanggap terhadap opini, kurang sigap terhadap isolasi wilayah. Reaksi diarahkan ke ruang publik, bukan ke jalur terputus.
Ulrich Beck (2009) menulis tentang masyarakat risiko, tempat kepercayaan tidak dibangun lewat klaim kompetensi, melainkan lewat pengakuan atas batas. Negara yang selalu tampak yakin justru memicu kecurigaan. Bahasa yang terlalu pasti di tengah kekacauan alam menciptakan jarak emosional.
Satir politik muncul tanpa perlu ditulis berlebihan. Publik menyaksikan konferensi pers menyala, sementara lampu posko pengungsian redup. Narasi mengalir lancar, air bersih tersendat. Negara tampak sibuk mengoreksi kesan, bukan mempercepat jangkauan.
Perbandingan dengan tsunami Aceh 2004 sering diangkat, bukan sebagai romantisme masa lalu, melainkan sebagai cermin sikap. Pada masa itu, negara relatif jujur mengakui keterbatasan. Bantuan luar diterima terbuka. Bahasa kekuasaan menunduk di hadapan skala tragedi.
Taufik Abdullah (2006) mencatat satu hal penting dari fase pascatsunami: legitimasi tumbuh bukan dari klaim kesiapan, melainkan dari kesediaan mengakui ketidaksiapan. Kerendahan hati justru memperkuat kepercayaan.
Pada bencana Sumatera 2025, situasi berbalik. Sistem lebih mapan, prosedur lebih lengkap, bahasa lebih percaya diri. Namun kepercayaan publik tidak otomatis mengikuti. Ketika narasi mendahului pengalaman korban, legitimasi terasa dipaksakan.
Anthony Giddens (1990) menjelaskan kepercayaan modern bergantung pada pengalaman konkret, bukan pada jaminan verbal. Korban tidak menilai negara dari grafik dan rilis, melainkan dari waktu kedatangan bantuan. Ketika pengalaman tidak sejalan dengan narasi, kritik berubah menjadi sinisme.
Satir publik lalu menemukan momentumnya. Negara digambarkan seperti pelayan restoran yang sibuk menjelaskan menu, lupa mengantarkan makanan. Penjelasan mungkin benar, tetapi perut tetap kosong.
Bencana Sumatera 2025 meninggalkan satu pertanyaan yang terus bergaung: untuk siapa narasi itu disusun. Untuk korban yang membutuhkan air, obat, dan selimut, atau untuk ruang publik yang perlu diyakinkan?
Tulisan ini tidak menolak validasi, tidak menafikan kerja lapangan, tidak meremehkan kompleksitas kebencanaan. Kritik diarahkan pada satu hal yang lebih mendasar: kecenderungan negara mencari pengakuan lebih cepat daripada kehadiran.
Amartya Sen (2009) mengingatkan ukuran keadilan terletak pada pengurangan penderitaan nyata, bukan pada kepuasan penjelasan. Dalam bencana, legitimasi tidak lahir dari seberapa sering kesungguhan diumumkan, melainkan dari seberapa jarang korban merasa sendirian.
Mungkin sudah waktunya negara menahan diri dari menjelaskan terlalu cepat. Mungkin sudah saatnya bahasa menyusul aksi, bukan mendahuluinya. Di tengah reruntuhan, narasi terbaik sering kali tidak diucapkan.
Ia hadir diam-diam, bersamaan dengan bantuan yang tiba tepat waktu. Kalau itu belum terjadi, pertanyaan akan tetap menggantung: apakah negara sedang menolong, atau sedang berharap diyakini.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU











