JAKARTA (Waspada): Keinginan sejumlah negara untuk mendirikan kampus internasional di Indonesia mendapat perhatian tersendiri dari kalangan perguruan tinggi. Alih-alih merasa khawatir, perguruan tinggi dalam negeri seharusnya memikirkan strategi dan inovasi sendiri supaya keberadaan kampus lokal tetap diperhitungkan.
Pelaksana Harian (Plh.) Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional Universitas Indonesia (UI), Emir Chairullah mengatakan, meski mengaku sedikit khawatir, tetapi pihaknya siap menghadapi tantangan dengan sejumlah strategi dan inovasi terbaik.
Salah satu strategi yang dilakukan UI adalah menjalin kolaborasi internasional, seperti program gelar ganda (double degree). Program ini dinilainya dapat menjadi alternatif untuk menahan arus devisa yang keluar melalui pendidikan tinggi asing.
“Yang paling mungkin dilakukan UI saat ini adalah kolaborasi, bikin double degree, supaya tidak semua devisa langsung ke kampus-kampus asing itu,” katanya saat bincang-bincang santai tentang Pendidikan dengan Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik) di Jakarta, Kamis (12/6).
Seperti diketahui, belum lama ini Indonesia kedatangan Utusan Khusus Perdana Menteri Inggris Urusan Pendidikan, Prof. Sir Steve Smith, dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Dominic Jermey, di kediaman Presiden Prabowo di Hambalang, Bogor, pada Jumat (30/5/2025). Perwakilan pemerintah Inggris tersebut menyatakan ketertarikan mendirikan universitas asal Inggris di Indonesia kepada Prabowo.
Keinginan negara luar mendirikan perguruan tinggi di Indonesia ini, menurut Emir Menurut Emir, perlu disikapi secara serius karena berpotensi mengalihkan minat masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke atas, dari kampus lokal ke institusi pendidikan luar negeri yang memiliki sumber daya lebih besar.
Sementara, lanjut Emir, tantangan finansial yang dihadapi berbagai universitas, khususnya milik pemerintah, cukup tinggi. Menurutnya, bergantung sepenuhnya pada Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) tidak lagi cukup untuk menopang operasional kampus.
“Kalau cuma mengandalkan UKT atau SPP itu, kampus sudah tidak bisa hidup. Kampus harus mampu untuk berinovasi,” ujarnya.
Emir menyebutkan bahwa keberadaan kampus asing, jika tidak dikelola dengan baik, berisiko mendorong keluarnya devisa secara besar-besaran dari sektor pendidikan tinggi. “Kalau semua orang memilih kuliah di institusi asing, entah di luar negeri atau kampus asing yang buka di Indonesia, otomatis devisanya lari ke mereka,” ucapnya.
Di sisi lain, kualitas tenaga pengajar di kampus-kampus negeri tidak kalah dengan dosen di luar negeri. “Saya pernah merasakan kuliah di luar negeri. Kualitas mereka tidak jauh-jauh amat dari kita. Hanya mungkin fasilitas yang kita agak kepayahan saat ini,” tuturnya.
Lebih lanjut, Emir menekankan bahwa peringkat global seperti QS University Ranking kini menjadi pertaruhan reputasi kampus nasional di mata publik. Peringkat tersebut tidak hanya mencerminkan kualitas akademik, tetapi juga eksposur di pandangan masyarakat luas terhadap institusi pendidikan.
“Karena kalau kita tidak bisa bersaing ya, dengan kampus asing itu masuk, kita bakal ketinggalan,” kata Emir.
Karena itu, Emir berharap akan semakin banyak masyarakat yang merasakan manfaat mengenyam pendidikan tinggi di kampus dalam negeri. Semua dapat terjadi jika masyarakat diberi pencerahan lewat media massa.