Pendidikan

Halaqah di UIN Tulungagung, Pembentukan Ditjen Pesantren Kebutuhan Mendesak

Halaqah di UIN Tulungagung, Pembentukan Ditjen Pesantren Kebutuhan Mendesak
Direktur Pesantren Kementerian Agama, Basnang Said berssma sejumlah Kiai dan ulama dalam acara Halaqah Penguatan Pendirian Pesantren di UIN Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (19/11/2025).
Kecil Besar
14px

TULUNGAGUNG (Waspada): Kehadiran Ditjen Pesantren merupakan kebutuhan mendesak agar lembaga pendidikan tertua di Nusantara ini memiliki ruang kelembagaan yang sebanding dengan kontribusi historisnya bagi bangsa.

“Pesantren telah berabad-abad menjadi pusat pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu, sudah saatnya pesantren memiliki struktur kelembagaan yang lebih kuat agar kebijakannya tidak hanya bersifat administratif, tetapi berdampak luas bagi masyarakat,” ujar Direktur Pesantren Kementerian Agama, Basnang Said dalam acara Halaqah Penguatan Pendirian Pesantren di UIN Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (19/11/2025).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Karena itu, Kemenag terus memperkuat tata kelola pendidikan pesantren yang kini memasuki tahap strategis dengan dimatangkannya rencana pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren. Langkah ini dinilai sebagai momentum penting untuk meningkatkan mutu pendidikan pesantren yang selama berabad-abad menjadi pilar peradaban Islam di Indonesia.

Basnang menilai penguatan kelembagaan ini sebagai bentuk pengakuan negara sekaligus kesiapsiagaan pesantren menghadapi tantangan zaman, mulai dari digitalisasi, kebutuhan data nasional, hingga peningkatan kualitas SDM.

“Ditjen Pesantren kelak akan menjadi motor penggerak program pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan agar tersusun lebih terarah, profesional, dan berkelanjutan,” tegasnya.

Kementerian Agama selama ini terus memperjuangkan agar pesantren masuk secara eksplisit dalam sistem pendidikan nasional. Setelah lahirnya Undang-Undang Pesantren dan berbagai regulasi turunannya, pembentukan unit eselon I yang fokus pada pesantren diharapkan menjadi puncak transformasi kelembagaan.

“Dengan Direktorat Jenderal, setiap kebijakan akan lebih terkoordinasi, setiap program lebih terukur, dan setiap kebutuhan pesantren dapat direspons lebih cepat. Kita ingin memastikan pesantren mendapatkan tempat yang layak sebagai kekuatan pendidikan Islam yang autentik dan mandiri,” tambah Basnang.

Dukungan terhadap penguatan kelembagaan pesantren juga datang dari para kiai. Dalam forum yang sama, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo KH. Abdullah Kafabihi Mahrus. Ia menegaskan pentingnya moderasi beragama sebagai pilar menjaga persatuan bangsa. Menurutnya, moderasi adalah watak asli Islam yang sejak lama mengajarkan keseimbangan, keadilan, serta penghargaan terhadap perbedaan.

“Moderasi beragama itu adalah jalan tengah yang diajarkan Islam. Bukan mengurangi agama, bukan pula berlebihan. Prinsipnya adalah mengambil yang paling maslahat untuk diri sendiri, masyarakat, dan bangsa,” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa ekstremisme—baik terlalu keras maupun terlalu longgar—berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Karena itu, penguatan moderasi beragama di pesantren, sekolah, kampus, dan ruang-ruang dakwah menjadi keharusan agar harmoni nasional tetap terjaga.

“Pesantren sejak dulu menjadi pelopor moderasi. Di sana ada ilmu agama, ada tradisi, ada cinta tanah air. Ini harus kita perkuat agar umat tidak mudah dipecah oleh paham-paham sempit,” tegasnya.

Nilai inklusivitas juga mengemuka dalam diskusi halaqah tersebut. KH. Athoillah S. Anwar menekankan bahwa inklusivitas bukan sekadar gagasan modern, melainkan ajaran dasar yang diwariskan ulama sejak berabad-abad lalu.

“Inklusif itu bukan pilihan, melainkan ajaran dasar dalam tradisi keilmuan Islam. Ruang pendidikan harus menjadi ruang yang memuliakan manusia, apa pun latar belakangnya,” ujarnya.

Ia menilai pesantren memiliki peran strategis dalam membumikan nilai keterbukaan tersebut. Dengan tradisi pendidikan yang humanis, pesantren telah lama menjadi ruang belajar yang merangkul berbagai kalangan sekaligus menguatkan jati diri kebangsaan.

“Pesantren harus menjadi rumah bagi siapa saja yang ingin belajar. Semangat keterbukaan itu yang membuat pesantren bertahan selama ratusan tahun dan terus relevan,” tambahnya.
Athoillah menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak boleh membiarkan pendidikan berkembang dalam ruang eksklusif yang menciptakan sekat antarkelompok. Pendidikan Islam, katanya, harus menjadi instrumen pemersatu yang menegaskan nilai kemanusiaan dan memperkuat persaudaraan.

Kementerian Agama memastikan finalisasi pembentukan Ditjen Pesantren dilakukan secara bertahap dengan melibatkan para kiai, pimpinan pesantren, akademisi, hingga pemerintah daerah. Sinergi antar pemangku kepentingan diharapkan menghasilkan struktur kelembagaan yang benar-benar menjawab kebutuhan riil di lapangan.

Dengan langkah ini, pemerintah berharap pesantren semakin siap menghadapi tantangan global, memperkuat tradisi keilmuan, dan melahirkan generasi yang berkarakter moderat, inklusif, serta berkontribusi bagi Indonesia Emas 2045.

“Pesantren masa depan harus berakar pada tradisi, tetapi juga mampu bergerak maju mengikuti perkembangan zaman. Itulah misi besar yang ingin kita wujudkan bersama,” tutup Basnang.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE