Pendidikan

KH Miftachul Akhyar: Pesantren Kuat karena Menyatukan Ilmu dan Iman, Akal dan Adab

KH Miftachul Akhyar: Pesantren Kuat karena Menyatukan Ilmu dan Iman, Akal dan Adab
Rais ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar dalam Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (13/11/2025).
Kecil Besar
14px

SURABAYA (Waspada.id): Kekuatan pesantren tidak terletak pada kemegahan bangunan atau banyaknya santri, melainkan pada kemampuannya menjaga keseimbangan antara ilmu dan iman, akal dan adab. Pandangan itu ditegaskan Rais ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar dalam Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (13/11/2025).

Menurut Miftachul, pesantren memiliki peran khas dalam membentuk manusia berilmu yang berkarakter.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

“Kalau ingin pesantren terus melahirkan santri yang memperkuat bangsa ini, ya dengan ilmu. Dan itu ada di pesantren,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa ilmu yang sejati tidak pernah berjalan sendiri tanpa kesadaran ilahiah.

“Ilmu harus bergandengan dengan bismillah dan khasyatullah. Jangan biarkan ilmu telanjang jalan sendiri,” tegasnya.

Bagi Kyai Miftachul, pesantren adalah tempat di mana pengetahuan dijaga oleh moralitas, dan akal selalu disinari oleh adab.

Lebih jauh ia menegaskan, sejarah membuktikan pesantren menjadi penopang keseimbangan sosial bangsa. “Kalau satu kabinet diisi santri, insyaallah aman. Karena mereka tumbuh dengan ketaatan dan kesadaran bahwa setiap amalnya diawasi Allah,” ujarnya. Ia menambahkan, santri adalah penjaga nurani bangsa — taat kepada pemerintah selama tidak diperintahkan kepada kemaksiatan, sekaligus kritis dalam kebenaran.

Tradisi Ilmu dan Keteladanan

Pandangan senada disampaikan Pengasuh Pesantren Tebuireng KH. Abdul Hakim Mahfudz, yang menegaskan bahwa akar tradisi pesantren berawal dari model Ashabus Suffah di masa Rasulullah SAW — para sahabat yang belajar dan berkhidmah di serambi masjid.

“Tradisi itu kemudian bertransformasi menjadi sistem pendidikan khas Nusantara yang menumbuhkan santri berilmu, beretika, dan beramal saleh,” ujarnya.

Menurutnya, nilai-nilai keilmuan dan adab tersebut kini dirumuskan dalam semangat BERKAHBerilmu, Etika, Religius, Kreatif, Amal Saleh, dan Hikmah — sebagai paradigma pendidikan pesantren masa kini yang menumbuhkan manusia utuh bagi kemaslahatan bangsa.

Negara Hadir untuk Pesantren

Sementara itu, Menko PMK Pratikno menegaskan bahwa pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren merupakan langkah konkret pemerintah dalam memperkuat lembaga yang disebutnya sebagai “detak jantung bangsa”.

“Para kiai, ibu nyai, dan jutaan santri yang memilih jalan ilmu serta pengabdian adalah energi moral bangsa ini. Dari pesantren lahir semangat hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari iman) yang menjaga Indonesia tetap damai dan toleran,” ujarnya.

Ia menyebut, terdapat lebih dari 42 ribu pesantren dengan 12,5 juta santri di seluruh Indonesia. Namun, masih banyak pesantren berjuang dengan keterbatasan fasilitas. “Tragedi ambruknya bangunan pesantren adalah alarm keras bagi kita semua. Menjaga jiwa adalah maqashid syariah yang utama,” tegasnya.
Pratikno juga mendorong pembaruan kurikulum agar santri memiliki kemampuan vokasional, literasi digital, dan jiwa kewirausahaan. “Santri harus punya kail, bukan hanya ikan,” ujarnya.

Penguatan Kelembagaan dan Pengakuan

Direktur Pesantren Kemenag, Basnang Said menegaskan kehadiran negara bagi pesantren kini semakin nyata. Ia mengumumkan rencana pembangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny dengan pendanaan dari APBN sebagai simbol dukungan negara.

“Insyaallah dalam waktu dekat akan dilakukan groundbreaking Pondok Pesantren Al-Khoziny yang pendanaannya bersumber dari APBN,” ujarnya.

Menurut Basnang, dukungan negara terhadap pesantren bukan bentuk belas kasih, tetapi tanggung jawab konstitusional.

“Kiai dan Nyai datang bukan untuk meminta, tapi untuk mengambil haknya pesantren. Negara wajib hadir untuk itu,” tegasnya mengutip pesan KH. Ma’ruf Amin.

Ia juga mengingatkan, pengakuan negara terhadap pesantren telah dirintis sejak era KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui program kesetaraan pendidikan, dan kini diperkuat dengan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

“Negara tidak mengintervensi, tapi merekognisi. Segala praktik pendidikan di pesantren adalah kekayaan bangsa yang harus dijaga,” ujarnya.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE