RIBUAN jiwa terombang-ambing di lautan yang keras, mempertaruhkan nyawa mereka dalam pencarian akan kehidupan yang lebih aman. Perjalanan yang dipenuhi dengan ketakutan dan ketidakpastian—mereka adalah pengungsi Rohingya, yang melarikan diri dari konflik di Myanmar, berusaha mencapai Acehsebagai tempat perlindungan terakhir.
Pada senja yang sunyi, kapal-kapal kecil dipadati oleh keluarga-keluarga yang rentan, melintasi perairan berombak tinggi. Mereka membuang jauh kebelakang kenangan akan kekerasan yang memaksa mereka meninggalkan tanah air mereka.
Di antara gelombang yang menghantam, terdengar cerita-cerita tragis yang terukir dalam mata setiap pengungsi. “Kami terombang-ambing di lautan selama berhari-hari tanpa cukup makanan dan air,” kata Nur, seorang ibu dari dua anak, dengan mata yang menceritakan kisah penderitaan yang tak terkatakan.
“Kami menghadapi badai besar dan hampir saja kehilangan harapan, tapi kami terus berdoa agar bisa sampai ke daratan yang aman.”
Ketika kapal mereka akhirnya tiba di pantai Aceh, sekelompok sukarelawan dengan hati yang penuh kepedulian menyambut mereka. Meskipun terbatasnya sumber daya, warga setempat memberikan bantuan sebisa mereka, menawarkan makanan, tempat berteduh, dan perawatan kesehatan.
Namun, perjuangan belum berakhir. Para pengungsi Rohingya menghadapi tantangan baru: adaptasi terhadap kehidupan yang sama sekali berbeda. Bahasa, budaya, dan kondisi ekonomi yang jauh dari yang mereka kenal menjadi rintangan besar. Meski demikian, semangat mereka untuk memulai kembali kehidupan, mengejar perdamaian, dan keamanan masih menggelora.
Sementara lembaga internasional dan negara-negara sekitar berusaha untuk memberikan bantuan, tantangan kemanusiaan yang dihadapi oleh pengungsi Rohingya tetap besar. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa mereka mendapat perlindungan yang layak serta kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Dosen Antropologi STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Tgk Muhajir AlFairus, menjelaskan betapa awalnya masyarakat Aceh memandang kehadiran Rohingya sebagai soal kemanusiaan. Masyarakat Aceh menunjukkan identitas keAceh-an pada Rohingya, menghormati mereka sebagai tamu dan sejalan dengan keyakinan yang serupa. Namun, meskipun semula memberi simpati dan bantuan, masyarakat Aceh merasa terganggu oleh beberapa masalah sosial yang muncul dari kehadiran pengungsi Rohingya.
“Dalam konteks ini, perasaan masyarakat Aceh terganggu karena beberapa masalah sosial yang dimunculkan Rohingya,” papar Tgk Muhajir. Namun, dia menegaskan bahwa nilai ke-Aceh-an yang menghormati tamu dan nilai kemanusiaan tak boleh luntur dalam memperlakukan pengungsi Rohingya yang terdampar.
Menurut Tgk Muhajir, pesan kebudayaan, agama, dan ke-Aceh-an orang Aceh tidak boleh luntur hanya karena ada beberapa masalah yang muncul dari pengungsi Rohingya. Dia menyoroti bahwa arus kedatangan pengungsi Rohingya harus dilihat sebagai masalah nasional dan global yang membutuhkan pemahaman mendalam akan dinamika politik di Myanmar.
“Dalam konteks kemanusiaan, kondisi yang dihadapi Rohingya yang mendorong mereka pindah dari negara asalnya harus dipahami sebagai ekses dari dinamika politik di Myanmar,” ungkap Tgk Muhajir. Kedatangan berulang pengungsi Rohingya ke Aceh juga terkait dengan jalur maritim yang terhubung kelautan Andaman, memungkinkan perahu yang ditumpangi ratusan pengungsi Rohingya kerap terdampar di Aceh.
Situasi kompleks kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh memperlihatkan tantangan kemanusiaan yang mendesak serta menimbulkan refleksi dalam masyarakat Aceh tentang nilai-nilai kemanusiaan dan ke-Aceh-an.
Meskipun terdapat dampak sosial yang menimbulkan ketegangan, banyak warga Aceh tetap mempertahankan semangat kepedulian terhadap nasib pengungsi Rohingya. Banyak di antara mereka yang bersedia memberikan bantuan sejauh yang mereka mampu, mendorong peningkatan kesadaran akan urgensi solidaritas global.
Komentar dari Tgk Muhajir Al-Fairus menjadi cermin dari kompleksitas moral, budaya, dan kemanusiaan yang hadir dalam respons terhadap krisis pengungsi. Dia menyoroti perubahan sikap masyarakat Aceh, dari simpati awal yang mendukung kehadiran Rohingya hingga ketidakpercayaan setelah munculnya beberapa masalah sosial.
Namun, pesannya mengingatkan bahwa nilai-nilai ke-Aceh-an, yang memperlakukan tamu dengan hormat, sejalan dengan nilai kemanusiaan yang harus dipertahankan. Kedatangan pengungsi Rohingya menjadi tantangan bagi masyarakat Aceh, yang dihadapkan pada pertanyaan tentang identitas dan moralitas dalam menanggapi krisis kemanusiaan.
Kondisi ini juga menggarisbawahi perlunya respons bersama dari komunitas internasional dan negara-negara terkait untuk menangani akar permasalahan kemanusiaan, sekaligus menuntut pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika politik dan konflik yang melatarbelakangi eksodus pengungsi Rohingya.
Dalam kesulitan dan kompleksitas ini, terlihat semangat manusiawi yang kuat—keinginan untuk memberikan perlindungan dan harapan bagi mereka yang terpinggirkan oleh konflik dan kekerasan.
Kisah dramatis ribuan pengungsi Rohingya yang mencapai Aceh bukan hanya sekadar catatan tentang perjalanan mereka yang penuh penderitaan. Ini juga menjadi cermin bagi kita semua, untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas global, serta menemukan solusi yang berkelanjutan bagi krisis yangmenimpa mereka. *Penulis Dr. Usiono, M.A & Nurul Syahara Ritonga











