DEPOK (Waspada.id): Dunia saat ini dihadapkan pada dua tantangan besar yang menentukan, yaitu krisis iklim dan percepatan transformasi teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI). Kedua hal ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi pada akarnya adalah krisis spiritual dan intelektual.
“Dan tadisi Islam bukanlah artefak yang usang, melainkan sumber daya yang hidup dan dinamis yang harus kita hadirkan untuk menjawab tantangan kontemporer ini,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin saat membacakan pidato tertulis Menteri Agama di pembukaan Annual International Conference on Islam, Science and Society (AICIS+) 2025, Rabu (29/10/2025) di Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat
Konferensi internasional yang diselenggarakan Kemenag bersama UIII ini berlangsung dari 29 hingga 31 Oktober 2025 ini mengusung tema besar “Islam, Ekoteologi, dan Transformasi Teknologi: Inovasi Multidisiplin untuk Masa Depan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan.”
Konferensi ini dirancang sebagai wujud nyata dari keyakinan bahwa iman dan akal adalah dua jalur yang saling melengkapi menuju kebenaran. Untuk itu, Kemenag berkomitmen membangun infrastruktur intelektual melalui tiga pilar strategis yakni penguatan ekosistem riset di perguruan tinggi Islam; promosi metodologi interdisipliner, dan fasilitasi percakapan ilmiah global.
Delapan Isu Strategis dan Implementasi Nyata
AICIS+ 2025 akan mendalami delapan sub-tema strategis yang merefleksikan upaya rekonstruksi pemikiran Islam, antara lain: Ekoteologi, Etika Teknologi, Hukum Islam dan Eco-Feminisme, Ekonomi Berkelanjutan, Dekolonisasi Studi Islam, Perdamaian, Kesehatan Masyarakat, serta Inovasi Industri berbasis Nilai Ekonomi Islam.
Yang terpenting, tema besar konferensi ini telah diterjemahkan Kemenag ke dalam aksi nyata melalui program prioritas Asta Protas. Pilar Penguatan Ekoteologi, misalnya, diwujudkan melalui Gerakan Satu Juta Pohon Matoa.
“Gerakan ini menyerukan setiap institusi keagamaan—masjid, madrasah, KUA, pesantren, dan PTKI—untuk menjadi ruang hidup yang hijau, bukan sekadar struktur batu. Ini adalah rekonstruksi teologi ekologis, memposisikan umat Islam sebagai khalifah fil ardhi yang sadar lingkungan,” tegas Kamaruddin Amin.
Pada kesempatan yang sama, juga ditekankan peran strategis zakat dan wakaf sebagai pilar keuangan sosial Islam untuk mewujudkan kesejahteraan berkelanjutan dan keadilan sosial, yang selaras dengan sub-tema konferensi.
“Potensi wakaf uang nasional mencapai triliunan rupiah. Dengan kontribusi Rp10.000 dari setiap Muslim sebagai amal jariyah, kita dapat membiayai UMKM, pendidikan, dan infrastruktur hijau tanpa beban riba. Kemenag bersama BWI sedang mengintegrasikan data zakat dan wakaf untuk distribusi yang produktif dan tepat sasaran,” paparnya.
AICIS+ 2025 diharapkan tidak hanya menjadi diskusi akademis, tetapi juga kontribusi nyata bagi dialog peradaban dan pembaruan intelektual. Tujuannya adalah merumuskan masa depan yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga berkeadilan, berkelanjutan, dan manusiawi, yang merefleksikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.



















