JAKARTA (Waspada.id): Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mendorong lahirnya konsep living laboratorium sebagai pendekatan baru dalam pengembangan riset dan teknologi. Program ini bertujuan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses evaluasi, masukan, hingga pemanfaatan hasil penelitian.
Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Saintek Kemendiktisaintek, Yudi Darma, menjelaskan riset selama ini kerap terjebak di ruang laboratorium dan kurang berinteraksi dengan publik. Konsep living laboratorium diyakini bisa menjembatani kesenjangan itu.
“Kami ingin riset tidak lagi berjalan sendiri. Dengan keterlibatan masyarakat, hasilnya bisa langsung dirasakan dan memberi dampak nyata. Jadi siklusnya lebih cepat dan berkelanjutan,” kata Yudi.
Dosen Sastra Inggris Universitas Negeri Malang, Evi Eliyanah, menekankan bahwa era “jalan sunyi akademia” sudah berakhir. Menurutnya, sains harus lebih terbuka, kolaboratif, dan inklusif.
“Tidak ada lagi saintis yang ‘sok tahu’ dan terputus dari masyarakat. Justru kearifan lokal dan keresahan warga perlu ikut menentukan arah penelitian,” ujar Evi.
Sejarawan Monash University, Luthfi Adam, menambahkan perspektif sejarah. Ia menilai pada masa kolonial, ilmuwan justru banyak bergantung pada informasi masyarakat lokal dalam penelitian.
> “Peneliti botani, misalnya, tak bisa bekerja tanpa bantuan warga yang memahami jenis-jenis tumbuhan di lingkungannya. Model interaksi seperti ini relevan untuk dihidupkan kembali,” kata Luthfi.
Konsep living laboratorium juga diproyeksikan mempertemukan kampus, masyarakat, dunia usaha, dan investor. Ruang diskusi bahkan tidak terbatas pada forum formal, melainkan bisa terjadi di warung kopi hingga aktivitas keseharian.
Menurut Yudi, mahasiswa nantinya tidak hanya belajar melalui KKN, tetapi lebih intensif hidup bersama masyarakat untuk memecahkan masalah konkret. “Dengan begitu, teknologi yang dihasilkan tidak lagi sia-sia atau tidak tepat guna,” tegasnya.
Dukungan Anggaran
Kemendiktisaintek bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) telah menyiapkan dana sebesar Rp57,5 miliar untuk mendukung program ini. Anggaran tersebut akan disalurkan ke perguruan tinggi melalui mekanisme proposal yang akan dinilai tim independen.
Peluncuran ekosistem terbuka berbasis saintek ini dijadwalkan pada 9 Oktober 2025 dengan nama Bestari. Pedoman teknis akan segera diterbitkan, sementara pegiat penelitian disiapkan untuk mendampingi penerima manfaat. (id11)