BANDUNG (Waspada.id): Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa halaqah nasional yang digelar Kementerian Agama menjadi forum strategis untuk merumuskan arah masa depan pesantren. Ia menyebut forum kajian semacam ini sangat penting agar penyusunan kebijakan dan pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren tidak dilakukan secara tergesa atau tanpa fondasi pemikiran yang solid.
Dalam Halaqah Penguatan Kelembagaan Ditjen Pesantren di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jumat (21/11/2025), Menag menilai halaqah berfungsi sebagai wadah konsolidasi gagasan dari berbagai arus besar pemikiran pendidikan—sekuler, pendidikan Islam, dan pesantren—yang selama ini berkembang secara paralel.
“Halaqah seperti ini penting untuk memperjelas peta jalan pesantren. Kita tidak boleh menghasilkan kebijakan tanpa perumusan konseptual yang matang,” ujarnya.
Menag menambahkan, pembentukan Ditjen Pesantren sebagai unit Eselon I masih memerlukan penguatan kerangka besar agar tidak terjadi tumpang tindih dengan pendidikan Islam yang sudah berjalan. Karena itu, ia menyebut forum ilmiah dan pemikiran kolektif menjadi instrumen yang tak bisa dipisahkan dari proses penataan kelembagaan pesantren.
Halaqah sebagai Ruang Konsolidasi Nasional
Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Rosihon Anwar, sepakat bahwa halaqah harus menjadi ruang konsolidasi nasional untuk mengintegrasikan pandangan dari para kiai, akademisi, dan pengelola pesantren. Menurutnya, forum ini berfungsi memastikan arah penguatan pesantren tetap berakar pada tradisi keilmuan, namun responsif terhadap kebutuhan sosial dan perkembangan waktu.
Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam, Arskal Salim, menambahkan bahwa keberadaan halaqah memberi kesempatan luas bagi berbagai pemangku kepentingan untuk menyampaikan gagasan dan kritik konstruktif dalam perumusan kebijakan pesantren ke depan.
Peluncuran Pusat Riset Pesantren
Dalam kegiatan tersebut, Menag juga meluncurkan SANTRI—Sentra Analisis dan Riset Pesantren Indonesia, yang dirancang sebagai pusat kajian strategis untuk memperkuat basis riset dan analisis dalam pembangunan kebijakan pesantren.
Halaqah menghadirkan sejumlah tokoh nasional, di antaranya mantan Ketua PBNU Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, yang menekankan perlunya pesantren memperkuat fondasi epistemologinya. Ia menyoroti tiga pendekatan klasik yang telah lama menjadi pilar keilmuan Islam: Bayan (tekstual), Burhan (rasional), dan Irfan (spiritual).
“Tiga epistemologi ini tidak boleh berjalan sendiri. Penguatan pesantren harus berdiri di atas tradisi keilmuan yang saling melengkapi,” kata Said Aqil.
Halaqah ini menjadi rangkaian persiapan Kementerian Agama dalam mematangkan pembentukan Ditjen Pesantren sebagai lembaga pembina pesantren secara nasional.
Turut hadir sebagai narasumber: Hj. Alissa Q. Wahid, M.Psi, Dr. K.H. Aziz Afandi, dan Dr. K.H. Abun Bunyamin, M.A.

















