TANGERANG SELATAN (Waspada.id):
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menegaskan bahwa seluruh fasilitas publik di bawah Kementerian Agama, mulai dari sekolah, madrasah, masjid, hingga kantor layanan masyarakat, wajib menyediakan akses ramah disabilitas. Ia menekankan bahwa aksesibilitas bukan lagi pelengkap, tetapi kewajiban moral negara dan tanggung jawab langsung seluruh satuan kerja Kemenag.
Peringatan Hari Disabilitas Internasional menjadi panggung bagi Menag untuk mengingatkan jajarannya, sekaligus masyarakat luas, bahwa ruang publik inklusif harus menjadi standar pembangunan di Indonesia.
Berbicara di UIN Jakarta, Nasaruddin menyampaikan bahwa fasilitas umum yang berada di bawah Kementerian Agama harus memungkinkan kelompok difabel bergerak dan beraktivitas dengan aman dan bermartabat.
“Maka sekolah, masjid, rumah-rumah publik, tempat-tempat publik itu harus ada akses untuk kelompok-kelompok difabel,” ujarnya di hadapan ratusan penyandang disabilitas, Rabu (10/12/2025).
Menag menyoroti fenomena bangunan ibadah yang megah secara arsitektur, namun tidak ramah bagi jamaah penyandang disabilitas. Menurutnya, keindahan sebuah masjid akan kehilangan makna jika hanya bisa dinikmati sebagian orang.
“Jangan sampai masjidnya cantik dan indah, tetapi tidak ada akses untuk mereka yang tidak bisa berjalan kaki naik ke lantai atas. Jangan-jangan nanti kita sendiri yang tidak bisa naik ke balkon dan harus sholat di luar karena tidak ada akses,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia—negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia—seharusnya menjadi teladan dalam menyediakan fasilitas inklusif.
Dalam pengamatannya, sejumlah negara Barat justru lebih maju dalam hal ini. Sistem pembayaran, transportasi, hingga bangunan publik mereka dirancang dengan mempertimbangkan kelompok tunanetra, tunarungu, atau pengguna kursi roda.
“Di Barat, bahkan uang mereka ramah difabel. Dolar dapat dibedakan lewat tekstur sehingga tuna netra bisa mengenali nilai uang itu. Kita juga mulai menuju ke sana, namun masih banyak yang harus diperbaiki,” ujarnya.
Komitmen Memperkuat Pendidikan Inklusif
Saat menghadiri peringatan Hari Disabilitas Internasional di Tangerang Selatan pada 10 Desember 2025, Menag kembali menegaskan pentingnya memperkuat layanan pendidikan inklusif. Ia menyebut karya dan kreativitas anak-anak difabel merupakan bukti bahwa keterbatasan fisik tidak menghalangi kemampuan intelektual dan daya cipta mereka.
“Kita menyaksikan betapa hebatnya anak-anak itu mampu menciptakan banyak hal yang di luar akal sehat kita. Tapi itu kenyataan,” kata Nasaruddin di UIN Jakarta.
Kementerian Agama, lanjutnya, telah mengembangkan sekolah-sekolah ramah difabel yang dilengkapi fasilitas lengkap: bangunan aksesibel, toilet dan mushala yang dirancang khusus, dapur untuk kebutuhan pembelajaran vokasional, serta perangkat pendidikan yang mendukung kebutuhan masing-masing peserta didik.
Perhatian itu juga diberikan kepada para orang tua. Menag menilai bahwa di balik anak difabel yang berkembang dengan baik, selalu ada orang tua yang penuh kesabaran.
“Karena itu mereka juga patut mendapatkan apresiasi,” tambahnya.
Aksesibilitas Harus Dipikirkan Sejak Perencanaan
Selain sektor pendidikan, layanan transportasi antar-jemput bagi siswa difabel juga menjadi perhatian Kemenag. Nasaruddin menegaskan, negara tidak boleh membiarkan diskriminasi layanan publik dalam bentuk apa pun, termasuk dalam mobilitas harian anak-anak difabel.
Ia mengajak seluruh lapisan masyarakat, terutama pengelola fasilitas publik, untuk menaruh perhatian lebih pada detail kecil yang menentukan kenyamanan para penyandang disabilitas—mulai dari ram akses kursi roda, jalur pemandu tunanetra, toilet khusus, hingga akses menuju ruang ibadah dan perpustakaan.
Menag juga menekankan pentingnya perpustakaan braille atau sarana penunjang lain yang memungkinkan anak-anak difabel belajar secara mandiri.
“Kalau ingin membuat Tuhan tersenyum, buatlah kelompok difabel itu tersenyum. Kalau ingin melihat Tuhan cemberut, buatlah mereka tersiksa,” pesan Menag, menutup imbauannya.
Dengan serangkaian pernyataan tegas itu, Kementerian Agama berharap gerakan inklusi tidak berhenti pada seremoni peringatan, tetapi menjadi standar baru dalam pembangunan fasilitas publik di Indonesia—bahwa setiap bangunan harus dapat digunakan oleh semua warga negara, tanpa kecuali.

















