Scroll Untuk Membaca

Pendidikan

P2G: MBG Bukan Tanggung Jawab Guru

P2G: MBG Bukan Tanggung Jawab Guru
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menegaskan penolakannya terhadap kebijakan yang menjadikan guru sebagai Penanggung Jawab Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah.
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada.id): Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menegaskan penolakannya terhadap kebijakan yang menjadikan guru sebagai Penanggung Jawab Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah. Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menyebutkan bahwa Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2025 yang diterbitkan Badan Gizi Nasional (BGN) mengenai “Pemberian Insentif Bagi Guru Penanggung Jawab Program Makan Bergizi Gratis di Sekolah Penerima Manfaat” merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab BGN atas maraknya kasus keracunan MBG di sekolah.

“Menurut kami dengan terbitnya SE ini patut diduga BGN mencoba lepas tangan dari tanggung jawab terhadap fenomena keracunan MBG di sekolah,” kata Iman dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).

P2G menyampaikan tujuh catatan penting terkait kebijakan MBG. Pertama, sejak Mei 2025, P2G telah memberikan saran agar program MBG dimoratorium atau dihentikan sementara untuk dilakukan evaluasi. Hal ini dimaksudkan guna mengidentifikasi aspek yang perlu diperbaiki, mulai dari regulasi, keamanan dan kebersihan, kelayakan vendor, kendala teknis, hingga potensi risikonya.

Kedua, keterlibatan guru secara teknis dalam distribusi MBG dianggap sangat mengganggu proses belajar mengajar.

“Bayangkan, pertama MBG datang, guru harus menalikan ulang agar bisa diangkut ke tiap kelas, kemudian guru-guru harus mencicipinya terlebih dahulu, mengawasi agar langsung dimakan murid, dan membereskannya kembali. Jika wadahnya hilang, sekolah justru harus mengganti,” jelas Iman.

Menurutnya, kewajiban guru untuk mencicipi makanan berisiko besar. Pertama, guru tidak memiliki kemampuan mendeteksi makanan beracun, dan itu bukan tugas guru. Jika deteksi dilakukan dengan cara mencicipi, justru mempertaruhkan nyawa mereka. Kedua, hal ini membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja guru.

“Pekerjaan guru adalah mengajar, bukan mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan kerja,” tegas Iman.

Ketiga, alih tanggung jawab MBG menambah beban kerja guru. Padahal, dalam pasal 35 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, beban kerja guru hanya mencakup kegiatan pokok, yakni merencanakan, melaksanakan, menilai hasil pembelajaran, membimbing peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan tertentu seperti menjadi wakil kepala sekolah, koordinator kokurikuler, atau kepala laboratorium. Mengelola MBG tidak termasuk dalam beban kerja guru sebagaimana diatur undang-undang.

“Sebelum ada MBG, beban kerja guru justru sudah banyak,” ungkap Iman.

Ia menegaskan bahwa pengalihan tanggung jawab MBG kepada guru jelas bertentangan dengan UU Guru dan Dosen, baik dari sisi kewajiban, tugas, maupun tanggung jawab. Pasal 7 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 mengatur tugas guru adalah merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasilnya, bukan mengawasi MBG.

“Dengan memberikan tugas tambahan yaitu sebagai penanggung jawab MBG, tentu ini akan keluar dari rel utama kewajiban guru,” lanjutnya.

Keempat, Iman menyoroti besaran insentif 100 ribu rupiah per hari bagi guru yang ditunjuk sebagai penanggung jawab MBG. Menurutnya, nilai itu tidak sebanding dengan tanggung jawab yang besar, apalagi jika terjadi kasus keracunan. Ia khawatir justru guru yang akan disalahkan karena status penanggung jawab tersebut.

Selain itu, pemberian insentif ini dinilai paradoksal jika dibandingkan dengan kondisi guru honorer. Posko Pengaduan P2G mencatat ada 518 guru honorer, di mana 97% di antaranya belum menerima bantuan insentif 300 ribu rupiah per bulan yang dijanjikan Presiden Prabowo Subianto.

“Jika BGN bisa memberikan insentif 100 ribu perhari untuk guru penanggungjawab MBG, bukankah mudah saja bagi pemerintah jika menggaji guru honorer sebulan 3 juta rupiah? Kenapa malah sulit menambah gizi gurunya?” sindir Iman.

Ia berharap pemerintah segera melakukan moratorium, evaluasi, dan menghentikan sementara program MBG sebelum memperbaiki tata kelolanya. Selain itu, P2G mendesak agar aturan yang menjadikan guru sebagai penanggung jawab MBG dicabut.

Kelima, P2G menilai program MBG kurang tepat jika ditujukan kepada seluruh murid tanpa melihat kebutuhan.

“Kalau sekolah yang gizi muridnya sudah sangat baik, mereka diberikan MBG, jangan-jangan bukannya meningkat, gizinya malah menurun. Sebab mereka sudah makan bergizi sebelum program MBG ada, dengan harga jauh di atas porsi MGB,” kata Iman.

Feriyansyah, Kepala Bidang Litbang P2G, menambahkan bahwa MBG seharusnya diberikan secara selektif berbasis data, khususnya untuk sekolah-sekolah di daerah 3T atau rawan gizi.

“MBG harus tepat sasaran, selektif ke sekolah yang latar belakang orang tuanya ekonomi lemah,” tegasnya.

Keenam, menurut Fery, program MBG justru menghancurkan omzet kantin sekolah.

“Sejak awal program MBG, P2G sudah memberikan masukan agar MBG ini seharusnya memperkuat ekosistem pangan lokal dan menggerakan roda ekonomi sekitar. Namun sepertinya itu tidak dilaksanakan dengan baik. Walhasil, kantin sekolah jadi mati suri,” jelasnya.

Ketujuh, P2G menolak penggunaan anggaran pendidikan untuk program MBG.

“Kami menolak MBG ketika menggunakan anggaran pendidikan. Apalagi dengan diambilnya anggaran pendidikan untuk MBG, sebenarnya anggaran pendidikan tahun 2025 justru menurun, hanya 534 Triliun, lebih rendah dari Anggaran Pendidikan 2023, 612 Triliun. Sejatinya, 20 persen APBN untuk pendidikan tidak tercapai gara-gara MBG, dan ini berpotensi inkonstitusional,” tutup Fery.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE
Hotma Wulansari Sitohang, guru kelas 1, SDN 30 Pasar Lapan, Kabupaten Batubara, berinovasi memadukan latihan motorik kasar dan motorik halus, dalam peningkatan kemampuan Numerasi peserta didiknya, pada Senin (11/8).
Pendidikan

BATUBARA (Waspada.id): Memberikan pemahaman tentang numerasi angka kepada peserta didik kelas rendah butuh inovasi yang manarik, agar mudah dipahami, kegiatan menghitung, dalam konteks kegiatan sehari-hari, lebih mengarah pada kegiatan motorik halus, terutama…