MEDAN (Waspada) : Tim Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Universitas Sumatera Utara (USU) terdiri dari Dr. Harmona Daulay, Dr. Meutia Nauly, Dr. Detania Sukarja, dan Fredick Broven Ekayanta, berkolaborasi dengan dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Dr. Tyas Retno Wulan dalam pengabdian berskema internasional tahun 2025 di Hong Kong.
Tim tersebut mengadakan kegiatan atau tridharma perguruan tinggi yang bertujuan meningkatkan kapasitas psikologi, gender, dan sosial kepada pekerja migran perempuan Indonesia (PMPI) yang tergabung dalam organisasi Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia Hong Kong (ATKI HK).
Melalui pengabdian ini, diharapkan akan terbangun resiliensi dari berbagai hambatan dan tantangan yang dihadapi.
Pertemuan dengan ATKI dilangsungkan, Minggu (15/6) di Victoria Park, Hong Kong. Ada sekitar 25 pekerja migran perempuan Indonesia yang mengikuti kegiatan ini.
Ketua tim pengabdian, Dr. Harmona Daulay menekankan pentingnya sensitif gender bagi para peserta.
“Sebagai pekerja perempuan, harus disadari bahwa perempuan rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi, padahal pekerja migran perempuan adalah pahlawan bagi keluarganya,” ungkapnya.
Ketua ATKI HK, Romlah Rosidah, menyatakan persoalan kekerasan terhadap pekerja perempuan di Hong Kong masih terjadi, selain itu juga ada persoalan mengenai kesehatan mental dan parenting jarak jauh. Anggota tim pengabdian, Dr. Meutia Nauly memandu kegiatan pengabdian dengan membentuk diskusi kelompok kecil.
Melalui diskusi tersebut, para pekerja migran perempuan diberi kesempatan menuliskan refleksi pribadi dan keluh kesah selama bekerja di Hong Kong.
Setelahnya, Dr. Meutia memberi penyuluhan mengenai pentingnya growth mindset ketika bekerja jauh dari keluarga.
Anggota tim pengabdian lainnya, Dr. Detania Sukarja memberikan materi mengenai pentingnya literasi hukum bagi pekerja migran perempuan di Hong Kong.
Dengan literasi hukum yang baik, akan membantu pekerja migran perempuan untuk mengetahui hak dan kewajiban, mencegah eksploitasi dan penyalahgunaan, memahami kontrak kerja, menghindari pemutusan kontrak hingga meningkatkan posisi tawar secara kolektif.
Fredick Broven Ekayanta turut memberikan materi mengenai literasi politik guna mendorong pekerja migran perempuan di Hong Kong menjadi warga negara yang kritis yang memahami setiap hak dan kewajiban serta memiliki pengetahuan mengenai sistem politik yang berlaku di Indonesia.
Sementara itu, Dr. Tyas Retno Wulan memaparkan materi mengenai bagaimana membangun resiliensi dan well being untuk pekerja migran perempuan.
Setidaknya ada lima strategi utama yakni membangun koneksi sosial, menjaga kesehatan, menemukan visi, mengembangkan pikiran positif, hingga mencari bantuan ketika membutuhkannya.
“Pendidikan adalah salah satu bagian dari remiten sosial yang harus terus diupayakan dan disemaikan saat berada di luar negeri, karena pendidikan dan remitansi sosial adalah ikhtiar memperkuat resiliensi social,” tambah Tyas.
Dalam rangkaian kegiatan pengabdian ini, tim juga berkunjung ke salah satu shelter atau tempat perlindungan bagi pekerja migran perempuan yang ada di Kowloon pada hari Senin (16/6).
Shelter tersebut menjadi tempat penampungan para pekerja migran, bukan hanya dari Indonesia, tetapi bagi pekerja migran asal Filipina, ketika mengalami persoalan hukum ataupun mengalami kekerasan dari majikan.
Di shelter tersebut, sejumlah pekerja migrant perempuan juga berbagi pengalaman dan kisah yang mereka alami selama menjadi pekerja migran di Hong Kong kepada tim.
Tim pengabdian juga mengunjungi Konsulat Jenderal Republik Indonesia Hong Kong (KJRI HK) yang berada di daerah Causeway Bay, Selasa (17/6), untuk mendapatkan informasi mengenai situasi pekerja migran di Hong Kong sekaligus menyampaikan kegiatan yang dilangsungkan.
Perwakilan KJRI yang menerima adalah Konsul Penerangan, Sosial, dan Budaya, Clemens Triaji Bektikusuma, Konsul Muda Penerangan, Sosial, dan Budaya, Zivya Syifa Husnayain, dan Konsul Imigrasi, Febby Wilson Sayuti.
Clemens mengapresiasi kegiatan pengabdian yang dilakukan, namun berharap bahwa kegiatan ini bisa berkelanjutan.
Clemens juga menjelaskan mengenai perkembangan situasi ketenagakerjaan yang ada di HongKong, khususnya tentang pekerja migran perempuan asal Indonesia yang jumlahnya mencapai sekitar 180 ribu orang. (m19)