LANGKAT (Waspada.id): Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) tahun 2025 yang seharusnya menjadi sarana pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah, kini menuai sorotan tajam.
Seorang warga penerima manfaat asal Desa Pantai Gemi, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara MD, mengungkapkan adanya dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan program tersebut.
Dalam kronologis tertulis yang disampaikan, MD menjelaskan secara rinci proses yang dilaluinya mulai dari pendaftaran hingga selesainya pembangunan rumah. Pada tahap awal, calon penerima manfaat diwajibkan membayar uang sebesar Rp100.000 serta menyerahkan tujuh lembar materai kepada Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) OP. Dana tersebut disebutkan sebagai biaya pembuatan proposal dan dokumen administrasi lainnya.
Selanjutnya, pada tahap pembukaan rekening di Bank Sumut, para penerima manfaat diminta membawa uang sebesar Rp50.000 dengan alasan biaya administrasi bank.
Pada saat pencairan tahap pertama sebesar Rp10.000.000, MD hanya menerima Rp1.250.000 untuk pembayaran upah tukang, sementara sisanya ditahan di bank untuk pembayaran material yang disalurkan langsung ke toko bangunan/panglong tempat belanja material. Hal serupa terjadi pada pencairan tahap kedua, disertai permintaan tambahan sebesar Rp10.000 kepada setiap penerima manfaat untuk biaya bank bulanan.
Dalam proses pembangunan rumah, MD mengaku menerima material yang tidak sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Besi berukuran 10 mm yang seharusnya sebanyak 30 batang hanya dikirim 20 batang, batu bata jumbo diganti dengan ukuran kecil, dan dana pembelian seng dialihkan untuk menutupi kekurangan pembelian besi. Bahkan, TFL menyarankan agar penerima manfaat menggunakan seng bekas rumah lama untuk menutupi kekurangan tersebut.
Lebih lanjut, MD menyatakan bahwa dirinya mendapat tekanan dari TFL untuk menyelesaikan pembangunan termasuk kamar mandi dan toilet dengan biaya pribadi. Jika tidak, bantuan BSPS disebut akan ditarik kembali. Akibat tekanan tersebut, ia terpaksa berutang sebesar Rp1.300.000 di toko bangunan/panglong untuk melengkapi pembangunan rumahnya.
Atas kejadian ini, MD menilai hak-haknya sebagai penerima manfaat tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Ia merasa terbebani oleh pungutan dan tekanan yang bertentangan dengan prinsip pelaksanaan program sosial pemerintah.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Kabupaten Langkat, Ilhamsyah Bangun, ST., kemarin ketika dikonfirmasi menyatakan bahwa pungutan Rp100.000 bukan merupakan pungutan liar, melainkan hasil kesepakatan sesama penerima manfaat. Menurutnya, masyarakat kesulitan membuat proposal, RAB, dan laporan pertanggungjawaban, sehingga mereka sepakat memberikan upah kepada TFL untuk membantu proses administrasi tersebut.
Namun, tanggapan tersebut mendapat reaksi keras dari Koordinator Presidium Rakyat Membangun Peradaban (PERMADA), Ariswan. Menurutnya, dalih kesepakatan tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran hukum atas pungutan kepada penerima manfaat program pemerintah. Ariswan menilai tindakan tersebut sebagai bentuk penzhaliman terhadap rakyat kecil dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum pelaksana.
“Jika program ini ditujukan untuk membantu masyarakat miskin, maka bantulah dengan sepenuh hati tanpa mencari keuntungan pribadi. Para petugas sudah digaji oleh negara. Tidak ada alasan memungut biaya tambahan dari masyarakat penerima bantuan,” ujar Ariswan.
PERMADA telah menyurati Inspektorat Kabupaten Langkat untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan ini. Ariswan menegaskan bahwa pihaknya akan melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia serta meminta agar dilakukan pemeriksaan terhadap seluruh pelaksanaan Program BSPS di Kabupaten Langkat. Selain itu, pihaknya juga akan mengirimkan surat kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Komisi V DPR RI untuk mendorong pengawasan lebih ketat terhadap pelaksanaan program nasional tersebut.
Dari aspek hukum, dugaan pungutan yang tidak memiliki dasar hukum dan perintah resmi dari pemerintah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara menyalahgunakan jabatan atau kewenangan.
Selain itu, ancaman atau tekanan kepada penerima manfaat agar mengeluarkan uang pribadi untuk menyelesaikan proyek yang seharusnya ditanggung program negara dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara itu, pelaksanaan Program BSPS secara normatif diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 07/PRT/M/2018 tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa tenaga fasilitator lapangan berfungsi memberikan pendampingan teknis dan administrasi kepada penerima manfaat tanpa memungut biaya dalam bentuk apapun, karena seluruh biaya operasional dan honorarium TFL telah ditanggung oleh pemerintah.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan diharapkan dapat menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk menindak tegas praktik-praktik yang berpotensi merugikan masyarakat serta mencederai semangat keadilan sosial dalam pelaksanaan program bantuan pemerintah.
Salah seorang TFL ketika dikonfirmasi, Selasa (4/11/25) melalui pesan WhatsApp tidak merespon, hingga berita ini dikirim ke redaksi tidak ada jawaban dari TFL tersebut.(id27)













