Sumut

Banjir Dan Tanah Longsor Buah Dari Krisis Ekologis Yang Berujung Bencana

Banjir Dan Tanah Longsor Buah Dari Krisis Ekologis Yang Berujung Bencana
Dua warga sedang berbincang di atas tumpukan kayu setelah terjadinya banjir bandang di Tapsel. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

P.SIDIMPUAN (Waspada.id) : Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi) Sumatera Utara berpendapat bahwa bencana alam banjir bandang tan tanh longsor yang terjadi di Tapsel, Tapteng, Sibolga dan daerah lainnya di Sumut merupakan buah dari krisis ekologi yang berujung bencana.

Demikian diungkapkan Walhi Sumut dalam pers release yang diterima Waspada.id, melalui staf kmpanye Walhi Sumut, Maulana, Senin (1/12/205) saat diminta tanggapannya terkait banjir bandang yang membawa materil kayu sebagaimana yang terjadi di Tapsel, Tapteng dan Sibolga.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Dalam pers releass terebut dijelaskan bahwa Kegagalan negara dalam mengurus lingkungan menyebabkan krisis ekologis yang berujung pada bencana ekologis, artinys, negara dalam hal ini pemerintah atau pengambil kebijakan berperan besar atas bencana ekologis yang terjadi saat ini.

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut, Jaka Kelana Damanik menerangkan bahwa menurut dokumen kajian risiko bencana nasional provinsi Sumatera Utara tahun 2022-2026, wilayah yang terkena banjir bandang dan tanah longsor tersebut masuk kedalam kategori dengan risiko tinggi untuk bencana banjir bandang dan tanah longsor.

Potensi bencana banjir bandang dan tanah longsor dapat terjadi di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Hanya Kabupaten Samosir yang masuk kedalam kategori kelas risiko rendah untuk bencana tersebut, sedangkan sebagian besar memiliki Kelas Risiko Tinggi.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Provinsi Sumatra Utara memiliki kelas bahaya Tinggi dan kelas kerentanan Tinggi untuk bencana banjir bandang dan tanah longsor. Hal ini seharusnya menjadi acuan penting bagi pembuat kebijakan di seluruh wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat meminimalisir dampak dari bencana dan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap lingkungan.

Material kayu yang dibawa banjir bandang sungai Garoga. Waspada.id/ist

Banjir bandang dan tanah longsor sering dinarasikan sebagai akibat dari hujan yang datang datang dari langit dan berlangsung secara terus menerus, ucapnya, seolah-olah bencana yang datang murni dari alam tanpa campur tangan manusia.

“Padahal saat banjir tiba terlihat banyak kayu-kayu terbawa air dan jika melihat dari teknologi misalnya citra satelit, dapat dilihat kondisi hutan yang gundul di sekitar lokasi bencana,” jelas Jaka.

Hal ini menunjukan bahwa campur tangan manusia turut menyumbang terjadinya bencana. Jaka menilai campur tangan tersebut dapat terjadi karena adanya keputusan politik maupun kebijakan yang dikeluarkan atas nama pembangunan dan ekonomi.

“Dalam kondisi inilah bencana tidak hanya dikaitkan dengan keadaan alam secara murni, akan tetapi menjelma menjadi bencana ekologis,” tegasnya.

Ia mengungkapkan bahwa, Walhi Sumut selama ini terus menyuarakan agar pemerintah memberi perhatian penuh atas kondisi ekosistem Batangtoru (Harangan Tapanuli) sebagai hutan tropis terakhir yang dimiliki Sumatera Utara.

Wilayah hutan tropis ini, wilayahnya meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Utara.

“Ekosistem ini harus dijaga, karena selain kaya flora dan fauna khususnya Orangutan Tapanuli yang paling langka di dunia, kerusakan ekosistem ini tentu akan berdampak pada daerah sekitarnya termasuk bencana banjir bandang dan tanah longsor,” ungkapnya.

Walhi Sumut berpendapat bahwa bencana yang terjadi saat ini merupakan bencana ekologis mengingat adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terhadap perusahaan di ekosistem Batangtoru yang dinilai memperparah rusaknya hutan di wilayah tersebut.

“Dari video-video yang beredar, dapat dilihat secara jelas bahwasannya banjir yang terjadi membawa material kayu-kayu yang tidak sedikit yang menunjukan pula adanya aktivitas penebangan hutan di wilayah sekitar bencana yang juga merupakan bagian dari ekosistem Batangtoru (HaranganTapanuli),” katanya.

Menurutnya, Laju deforestasi di wilayah ini sulit dibendung karena perusahaan-perusahaan yang beraktivitas di ekosistem Batangtoru (Harangan Tapanuli) melakukan penebangan pohon dengan berlindung dibalik izin yang dikeluarkan pemerintah.(id46)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE