Sumut

Deforestasi Salah Satu Faktor Utama Pemicu Bencana Banjir

Deforestasi Salah Satu Faktor Utama Pemicu Bencana Banjir
KEMENHUT melalui BBTNGL salurkan bantuan buat korban banjir di Besitang. Waspada.id/Asrirrais
Kecil Besar
14px

BENCANA banjir besar yang meluluhlantakan sejumlah daerah di provinsi Aceh, termasuk di wilayah Langkat, Sumut, terjadi ekses dari perbuatan tangan-tangan manusia serakah yang terus mengeksploitasi hutan secara besar-besaran demi mengejar kekayaan.

Aksi eksploitasi, baik illegal logging maupun aksi perambahan (konversi) menyebabkan terjadinya degradasi kawasan hutan, salah satunya bentangan kawasan hutan hujan tropis dataran rendah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Seorang sumber di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), kepada waspada.id beberapa waktu lalu menyebutkan, kerusakan kawasan hutan TNGL, khususnya di Langkat mencapai puluhan ribu hektare. Aksi ilegal ini juga berdampak terhadap ekosistem satwa.

Kerusakan ekosistem hutan ini dipicu aksi illegal logging (penebangan liar), termasuk masifnya aksi perambahan. Hutan yang harusnya menjadi benteng untuk menahan air hujan, berubah menjadi hamparan kebunan kelapa sawit.

Belum lama ini, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), turun ke TNGL melakukan upaya penertiban, baik yang berada di Langkat, maupun di Aceh Tamiang. Petugas yang terdiri dari unsur TNI memusnahkan tanaman ilegal pohon kelapa sawit seluas ratusan hektare.

Tingginya laju deforestasi tidak sebanding dengan upaya rehabilitasi yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Kemenhut. Hutan yang dieksploitasi terus semakin meluas, jauh mengalahkan upaya restorasi yang dilakukan.

Menurut catatan, pada tahun 2008, pihak TNGL pernah melakukan rehabilitasi hutan di kawasan Resort Sekoci yang secara geografis berbatasan dengan Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang, seluas kurang lebih 2.000 hektare dengan anggaran mencapai miliar rupiah.

Kawasan hutan ini sebelumnya dirambah dan ditanami pohon kelapa sawit. Namun, pihak TNGL melakukan okupasi tanaman kelapa sawit ilegal tersebut, kemudian mereforestasi berbagai jenis pohon dengan tujuan untuk menghutankan kembali taman nasional ini.

Akan tetapi, upaya reforestasi yang menelan anggaran cukup besar tersebut gagal total karena kawasan ini kembali dikuasi oleh perambah. Hutan hujan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia ini kembali ditanami komplotan perambah dengan kelapa sawit.

Eskalasi perambahan kian meluas di berbagai blok hutan di Besitang, Sei. Lepan, Bahorok, dan wilayah Aceh Tamiang. Kondisi ini menyebabkan wilayah ini kehilangan penyangga resapan air. Akibatnya, ketika curah hujan tinggi, air tidak bisa terserap ke tanah dan akhirnya meluap ke permukiman.

Ekses banjir tidak hanya meluluhlantakan segala harta benda, tapi cukup banyak warga yang harus kehilangan nyawa orang terkasih.
Peristiwa banjir besar yang terjadi di Langkat, Sumut, dan Aceh, harusnya menjadi refleksi bagi elite ibu kota pembuat kebijakan.

Tidak ada pilihan lain, untuk menyelamatkan kawasan hutan hukum harus benar-benar ditegakkan secara konsisten. Peristiwa banjir besar yang menimbulkan dampak kerugian besar ini harus menjadi momen pembelajaran berharga.

Pemerintah harus membuat political will yang jelas dan tegas jika benar-benar ingin menyelamatkan hutan agar peristiwa bencana serupa tidak terulang kembali dimasa datang. Hukum harus dijalankan dan siapa saja yang terlibat dalam aksi perusakan hutan harus ditindak tegas dan jangan ada tebang pilih.

Kepala BBTNGL, Subhan, menjawab waspada.id, Rabu (10/12), terkait berapa luas kawasan hutan TNGL yang rusak akibat aksi ilegal, khususnya di wilayah Kab. Langkat mengatakan, luas kerusakan hutan mencapai 7.000 hektare.

Kemudian, saat ditanya seberapa banyak jumlah koorporasi atau perusahaan perkebunan yang berkontribusi dalam aksi perusakan hutan, ia menyatakan, di kawasan TNGL di Langkat tak ada terdapat perusahaan yang terlibat dalam alih fungsi hutan.

Hanya saja, lanjutnya, satu perusahaan yang areal kebunnya masuk ke dalam kawasan hutan TNGL, yakni PT Bandar Meriah. Perusahaan ini, lanjutnya, sudah ditindak oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), namun tanaman kelapa sawitnya belum dieksekusi.

Menyinggung apa langkah konkrit terkait hukum terhadap perusahaan yang telah mengubah fungsi alamiah hutan ini, Subhan, menegaskan, masalah proses hukum adalah kewenangan Gakkum Kementerian Kehutanan di Jakarta.

Perusahan perkebunan swasta ini diduga mengkonversi kawasan hutan TNGL, termasuk hutan produksi di luar dari izin konsesi yang diberikan pemerintah. Selama puluhan tahun, perusahan ini tak terjamah hukum, meskipun kritikan gencar dilakukan.

Ada pun penindakan terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit ini baru dilakukan tahun 2025 l, setelah Satgas PKH turun. Namun, tindak lanjut proses hukumnya terhadap pihak perusahaan hingga kini juga belum jelas.

Bantuan Korban Banjir

Di tengah peliknya menghadapi aksi ilegal yang merusak hutan, tapi Kemenhut RI menunjukan rasa empatinya terhadap korban banjir. Melalui Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Kemenhut menyalurkan bantuan buat korban banjir ke Posko di Kel. Bukit Kubu dan di dua titik Posko di Bengkel, Desa Bukitmas, Kec. Besitang.

Bantuan berupa kebutuhan bahan pangan ini diserahkan oleh Kepala Seksi VI TNGL Wilayah Besitang, Handoko Hidayat, bersama sejumlah pegawai yang bertugas di bawah naungan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tersebut.

Kepala BBTNGL mengatakan, bantuan kemanusiaan yang didistribusikan tidak hanya ke wilayah Besitang, Langkat, tapi juga ke sejumlah daerah terdampak banjir cukup parah di wilayah Provinsi Aceh. (id24)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE