P.SIDIMPUAN (Waspada.id) : Ketua PPC PPP Kota Padangsidimpuan Hasanuddin Sipahutar (foto) menilai SK tentang susunan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) versi Mardiono Cs yang diterbitkan Kementerian Hukum dinilai cacat hukum.
“Kami menilai, SK tersebut cacat hukum karena menurut analisa kami, terdapat delapan poin yang tidak terpenuhi sebagaimana diisyaratkan oleh Permenkumham RI No. 34/2017,” kata Ketua DPC PPP Padangsidimpuan, Hasanuddin Sipahutar, Kamis (2/10/2025).
Ia menjelaskan cukup kaget mendengar pernyataan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas pada tanggal 1 Oktober 2025 yang mengatakan bahwa telah menandatangani SK Kepengurusan DPP PPP yang diajukan pihak Mardiono.
“Pada tanggal 30 September 2025, Menkum mengatakan belum menandatangani SK DPP PPP dan belum mengecek siapa yang mendaftar. Namun keesokan harinya (1 Oktober 2025) Menkum mengaku sudah tanda tangani SK DPP PPP yang diketuai Mardiono. Ini wajar dipertanyakan,” tuturnya
Berdasarkan analisa yang kami lakukan, ucap Hasanuddin, pemerintah (Menkum) terkesan tidak cerdas dan tidak taat hukum dalam penerbitan SK Menkum tentang kepengurusan PPP yang menetapkan Mardiono sebagai Ketua Umum dan Imam Fauzan Amir Uskara sebagai Sekjen.
Salah satu dari 8 poin yang tidak terpenuhi dalam penerbitan SK Menkum tersebut adalah “Surat keterangan tidak dalam perselisihan internal partai politik dari mahkamah partai politik” sebagaimana diamanatkan dalam poin 6 Permenkumham 34/2017.
“Atas terbitnya SK tersebut, kami sudah memastikan kepada Mahkamah Partai yang dipimpin pak Irfan Pulungan bahwa mereka tidak menerbitkan surat untuk kepengurusan Mardiono,” jelas Ketua PPP Padangsidimpuan.
Selain itu, lanjut Hasanuddin, SK Menkum itu mengabaikan seluruh fakta yang terjadi dalam Muktamar X PPP. “Mereka mengklaim ada aklamasi, padahal dalam proses Muktamar PPP di Hotel Mercure Ancol tidak ada aklamasi, tapi proses muktamar penuh dengan dinamika,” katanya.
Hasanuddin yang merupakan salah satu peserta Muktamar PPP menerangkan bahwa saat Amir Uskara bertindak sebagai pimpinan sidang, peserta muktamar menolaknya sebagai pimpinan sidang yang ditandai dengan hujan interupsi dari peserta muktamar.
Di tengah situasi muktamar yang tidak kondusif, pimpinan sidang memanggil Mardiono untuk hadir ke arena persidangan, namun Mardiono tidak hadir, bahkan setelah ditelpon berkali-kali. Melihat situasi yang tidak kondusif, Amir Uskara meninggalkan lokasi muktamar, ujarnya.
Klaim terpilihnya Mardiono, ucap Hasanuddin, melanggar seluruh proses pelaksanaan Muktamar X PPP, sebagaimana ditetapkan dalam Jadwal Muktamar dan Tata Tertib Muktamar. “Sesungguhnya yang menjalankan seluruh proses Muktamar secara konstitusional adalah muktamirin,” paparnya.
Poin selanjutnya yang tidak terpenuhi dalam penerbitan SK Menkum tersebut, yakni berdasarkan hasil Silaturahmi Nasional Alim Ulama 8 Sep 2025 di Ponpes KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat, bahwa seluruh ulama PPP se-Indonesia menolak Mardiono untuk melanjutkan kepemimpinannya di PPP pada Muktamar X PPP 2025.
Selain menolak SK Menkum itu, ujar Hasuniddin, pihaknya juga akan melakukan langkah politik dan tindakan terukur. “Susunan kepengurusan DPP PPP hasil resmi Muktamar X PPP, juga telah diajukan ke Menkum,” jelas Hasanudin.
Menurutnya, pernyataan Menkum yang menyebutkan tidak mengetahui adanya pendaftaran tidak masuk akal. “Pendaftaran yang dilakukan oleh Sekjen Taj Yasin (1/10) diterima langsung oleh staf Menteri di kantor Menkum RI dan diliput secara live oleh sejumlah media. Bahkan sebelumnya sudah ada komunikasi dengan staf Menteri Ditjen AHU,” katanya.
“Karenanya, kami meminta Menteri untuk menunjukkan adanya Surat Mahkamah Partai sebagaimana dipersyaratkan oleh Permenkumham 34/2017. Jika tidak, patut diduga Menkum melakukan kelalaian dalam penerbitan SK tersebut,” tegasnya
Ditanya tentang alasan penolakan Mardiono untuk melanjutkan kepemimpinan di PPP, Hasanuddin menjelaskan bahwa Mardiono dinilai tidak mampu dan tidak mengayomi. Bahkan Mardiono merasa tidak bersalah saat PPP gagal tembus ke Senayan.(id46)