MEDAN (Waspada.id): Molo salah di pandasoran, pasti salah di pambibiran. Sebuah analogi menganyam tikar dari tanah Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel). Falsafah ini dimaksudkan, kalau di pangkal sudah salah, di ujung juga pasti salah. Dalam menganyam tikar, kalau di awal (pandasoran) salah, di pambibiran (finishing) pun pasti salah. Menganyam tikar pun gagal.
Ketua Umum Saroha Foundation (foto) Erman Tale Daulay kepada Waspada.id, Selasa (2/9/2025). Erman Tale Daulay, dalam tulisannya mengutip pedoman masyarakat Tabagsel ini untuk menjelaskan fenomena demonstrasi di DPR belakangan ini.
Beranjak dari penelitian, mengutip Burhanuddin Muhtadi, bahwa 35 persen responden memilih karena politik uang pada Pemilu 2024, meningkat dari sebelumnya 28 persen. Itu artinya, mereka yang melenggang ke Senayan banyak menggelontorkan dana.
Dengan kata lain, mereka mendapatkan kursi dengan belanja suara. Berarti orang yang ingin jadi anggota DPR harus banyak uang. Alhasil, 60 persen anggota DPR berasal dari kalangan pengusaha, 30 persen diantaranya terafiliasi dengan Parpol.
Mayoritas anggota DPR adalah pengusaha, plus artis, Kaum intelektual pun jadi minoritas di DPR. Pengusaha yang duduk di kursi politik bukan berarti bercitra negatif.
Tetapi pesan yang ingin disampaikan, di hulu atau di “pandasoran” mereka terpilih karena politik uang, di hilir alias di “pambibiran” pun boleh jadi mereka akan berpikir uang.
“Pendek kata, upaya kita menganyam tikar yang salah di pandasoran, maka di pambibiran pun salah! Kita pun gagal menganyam tikar mari kita nikmati bersama,” tutupnya.(id23)