MADINA (Waspada): Organisasi Masyarakat Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (Ormas GNPK) Republik Indonesia menemukan dugaan kuat 39 Desa di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) yang tidak ada memberikan Surat Pertanggung Jawaban Dana Desa (SPJ DD) Tahun 2023.
Temuan tersebut menjadi dasar kuat bagi GNPK RI untuk segera membuat pengaduan ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) dalam waktu dekat ini. Demikian disampaikan Sekretaris GNPK-RI Wilayah Sumatera Utara, Yulinar Lubis dalam keterangan pres rilisnya kepada Waspada, Kamis (17/7/25).
Yulinar Lubis menjelaskan, ke 39 Desa yang tidak menyampaikan SPJ tahun 2023 ini tersebar di beberapa kecamatan yakni Kecamatan Siabu 10 desa, Kecamatan Naga Juang 2 desa. Kecamatan Ranto Baek 10 desa, Kecamatan Pakantan 4 desa, dan Kecamatan Batahan 13 desa.
SPJ Tahun 2023 ini diduga kuat tidak pernah dibuat oleh Kepala Desanya. Tapi Dana Desa bisa keluar untuk tahun 2024. Sedangkan SPJ ini merupakan syarat untuk pencairan DD tahun anggaran berikutnya.
Yuli juga menjelaskan menurut ingatannya, di tahun 2023, Madina melaksanakan Pemilihan Kepala Desa Serentak, dan beberapa desa sempat dipimpin oleh Pejabat (Pj) Kepala Desa dan bahkan ada Camat yang juga menjadi plt saat itu. Karena itu, Yuli menilai ada kelalaian dari Pj Kepala Desa terkait SPJ ini.
“Sekitar 256 desa seingat saya dipimpin oleh Pj Kades di tahun 2023. Inilah yang menjadi kelalaian dari para Pj Kades tersebut. Dan ini disinyalir merugikan negara puluhan miliar rupiah. Karena itu, dalam waktu dekat kita GNPK RI Sumut akan segera laporkan ke Kejati Sumut terkait temuan ini,” ucapYulinar Lubis.
Yuli pun menerangkan bahwa sebelumnya, GNPK-RI sudah mengirimkan surat konfirmasi tertulis kepada seluruh desa terkait ketidakadaan SPJ tersebut. Namun hingga saat ini hanya beberapa desa yang menjawab surat konfirmasi. Terkait ini, bila ada desa yang tidak menyerahkan SPJ DD dapat melanggar beberapa pasal, tergantung pada konteks dan akibat dari kelalaian tersebut.
Secara umum, pelanggaran ini bisa terkait dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya terkait dengan kewajiban pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa. Selain itu, jika kelalaian ini mengakibatkan kerugian negara atau penyalahgunaan wewenang, maka bisa juga terkait dengan KUHP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian, bila tidak menyerahkan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) penggunaan Dana Desa, itu bisa menghambat atau bahkan mencegah pencairan Dana Desa untuk tahun berikutnya. Sedangkan untuk sanksi yang dapat diberikan bagi desa atau kades yang tidak menyerahkan SPJ nya yakni, Sanksi Administratif berupa peringatan tertulis dari camat atau bupati/walikota, dan penundaan penyaluran Dana Desa, serta penghentian sementara kegiatan yang dibiayai Dana Desa.
Selanjutnya sanksi perdata yaitu, tanggung jawab untuk mengembalikan kerugian negara yang disebabkan oleh pelanggaran, dan gugatan perdata oleh pihak yang dirugikan. Sanksi terakhir adalah pidana, bisa dikenakan pidana penjara dan denda jika terbukti ada tindak pidana korupsi. Hal ini sesuai Pasal 2 UU Tipikor yang mengatur sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan pada Pasal 3 UU Tipikor juga mengatur sanksi bagi pelaku penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara dengan penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun, dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar. (a32).