TAPSEL (Waspada.id): PT. Agincourt Resources (PTAR) sudah dua pekan menghentikan operasional produksi Tambang Emas Martabe. Sementara waktu, perusahaan aktif pada pemulihan dampak bencana banjir dan longsor di Kecamatan Batangtoru dan sekitarnya di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
“Sejak 6 Desember 2025, Tambang Emas Martabe tidak lagi beroperasi sebagai pusat produksi. Seluruh kegiatan penambangan dihentikan, sesuai instruksi audit lingkungan dari pemerintah,” kata Senior Manager Corporate Communications PTAR, Katarina Siburian Hardono, Sabtu (20/12/2025).
Sementara waktu, PTAR sebagai perusahaan pengelola Martabe mengalihkan perhatian penuh kepada kondisi darurat yang melanda Batangtoru dan sekitarnya. Jika biasanya aktivitas di area tambang ditandai suara mesin dan lalu lintas truk tambang, kini jauh beda.
“Lokasi operasional terlihat senyap. Alat berat yang biasa bekerja mengangkut material kini berada di desa-desa terdampak banjir bandang dan longsor, membantu memulihkan akses warga,” sebut Katarina.
Pengalihan fungsi tersebut bukan sekadar inisiatif teknis, tetapi keputusan strategis yang ditegaskan manajemen. Perusahaan menghormati proses yang sedang berjalan dan bersikap kooperatif.
“Kami menilai penting bagi semua pihak untuk menunggu hasil resmi dari otoritas berwenang. Sejak awal terjadinya bencana, fokus dan sumber daya kami diarahkan pada upaya tanggap darurat di wilayah terdampak bencana,” tambahnya.
Seorang pekerja Tambang Emas Martabe, Raja Nasution, ketika diwawancarai mengaku memang tidak ada produksi di seluruh pit sejak 6 Desember. Martabe yang memilik tiga pit penambangan, Purnama, Ramba Joring, dan Barani, berhenti beroperasi.
Produksi dihentikan. Keberadaan PTAR di lapangan lebih terlihat sebagai bagian dari tim penanggulangan bencana daripada sebagai perusahaan tambang. Ekskavator digunakan untuk membuka jalan yang tertutup kayu dan lumpur.
“Tim penyelamat turun membantu evakuasi, sementara logistik dikirimkan secara rutin ke tujuh posko pengungsian di Batangtoru. Untuk daerah terisolasi, kita kirim bantuan lewat udara,” kata Raja..
Relawan perusahaan bekerja bersama pemerintah daerah, BNPB, dan masyarakat untuk mengangkut bantuan pangan. Menyediakan dapur umum dan logistik lainnya bagi korban bencana.
Di beberapa lokasi terisolasi, alat berat PTAR menjadi satu-satunya sarana untuk menyingkirkan material longsor yang menumpuk hingga setinggi badan orang dewasa.
Sejumlah warga mengakui bahwa bantuan teknis seperti alat berat dan transportasi pengungsi menjadi faktor penting dalam mobilitas mereka. “Tanpa alat berat, mungkin kami masih tertahan di desa,” kata salah seorang warga di Garoga.
Hingga saat ini, belum ada keputusan lanjutan dari pemerintah mengenai hasil audit lingkungan yang sedang berlangsung. Bagi ribuan pekerja, ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kelanjutan operasional.
“Namun di lapangan, prioritas sementara tetap pada penanganan bencana. Upaya pembersihan dan pemulihanpun terus dilakukan sejak pagi hingga malam,” timpal Katarina Siburian.
Dengan proses audit yang belum selesai, PTAR belum bisa memastikan kapan operasional tambang dapat kembali berjalan normal. Namun untuk saat ini, fokus yang terlihat jelas di lapangan adalah membantu masyarakat melewati masa-masa sulit pascabencana.(Id45)











