PANYABUNGAN (Waspada): Sekira delapan tahun, dana desa (DD) ditransfer ke daerah dengan jumlah rata-rata per desa per tahun sekira Rp1 milliar
“Anggap satu desa sudah menerima aliran dana segar ini Rp8 milliar, kemudian coba dicek ke lapangan apa dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa,” ujar Irwan H. Daulay, pemerhati ekonomi kepada waspada.id, Senin (24/7).
Ternyata, lanjut Irwan, pemerhati ekonomi, dana sebesar itu tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan mereka.
“Menurut hemat saya, ada dua persoalan utama sehingga DD ini minim manfaat bagi warga desa,” katanya.
Pertama, kata Irwan Daulay, dari sisi nomenklatur DD sebenarnya tidak mencerminkan upaya transfer dana ini untuk kepentingan membangun perekonomian desa, namanya dana sangat luas maknanya sehingga penggunaannyapun juga sangat luas dan akhirnya tidak fokus untuk mendanai program sebagaimana tujuan DD desa itu diundangkan.
Kedua, lanjut dia, dari sisi aturan main tatakelola DD dalam UU Desa juga tidak sejalan dengan kondisi desa yang sebenarnya yaitu mereka adalah entitas sosial yang memang sejak ada sangat khas yaitu berupa masyarakat homogen yang terbentuk secara turun-temurun memiliki ikatan kekerabatan yang kuat, budaya gotong royong yang kental dan hidup senasib sepenanggungan.
“Serta selalu mengutamakan pengambilan keputusan bersama dengan pola musyawarah mufakat, sehingga sistem yang mengatur mereka mestinya sejalan dengan karakteristik masyarakatnya, yaitu masyarakat kooperatif bukan korporasi,” katanya.
Sehingga, menurut Irwan Daulay, sungguh ironis ketika tatakelola DD disajikan dalam bentuk korporasi (fiscal) akan menimbulkan masalah baru yg sebelumnya tidak terpikirkan, karena model korporasi (fiscal) ini bukan mendorong lahirnya nilai tambah (investasi ) melainkan berorientasi realisasi belanja (konsumsi).
“Model ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kebocoran dan faktanya memang seperti itu. Bukannya menyelesaikan masalah malah akhirnya DD ini berubah menjadi sumber masalah utama di desa. Kacau kan?,” ujarnya.
Solusinya, jika memang banar-benar pemerintah tulus meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, kata Irwan Daulay, rubah saja tata kelola DD dan nomenklaturnya, menghidupkan kembali Koperasi Unit Desa (KUD) di mana seluruh warga menjadi anggota dan kepala desa merangkap sebagai ketua koperasinya dan BPD menjadi pengawas bisa menjadi bahan kajian di samping model lain yang berorientasi pembangunan perekonomian desa (bisnis/investasi).
“Di era kolonial, beberapa daerah sempat maju dengan dilahirkannya bank desa dan lumbung desa, pola ini mirip koperasi yang kita kenal saat ini yaitu koperasi simpan pinjam dan koperasi serba usaha,” kayanya.
Karena itu, lanjut Irwan Daulay, belum terlambat rasanya jika tata kelola dan nomenklatur DD dievaluasi sehingga niat membangun desa kesampaian dan mereka yang hidup di desa juga lebih siap menyongsong Visi Indonesia Emas 2045 yaitu Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi. (irh)