BINJAI (Waspada): Sengketa hukum antara Muhammad Tuah Permana Sitepu bersama istrinya, Seprina Dwi Cahaya Br. Sitepu, dengan RSU Sylvani akhirnya menemui titik terang. Setelah melalui proses hukum panjang dan melelahkan, kedua pihak memilih jalur damai.
Melalui jalur mediasi di Pengadilan Negeri Binjai, seluruh pihak menyatakan sepakat untuk mengakhiri konflik. Proses ini tercatat dalam perkara Nomor 26/Pdt.G/2025/PN Bnj. Mediasi tersebut berlangsung dengan mediator Hakim Maria Mutiara, S.H., M.H. dan menghasilkan Kesepakatan Perdamaian tertulis pada 25 Juni 2025.
Menurut kuasa hukum pihak tergugat, Risma Situmorang, proses perdamaian berlangsung dalam suasana kekeluargaan. Saat dikonfirmasi melalui telpon via WhatsApp, Jumat (4/07), Risma menjelaskan bahwa kesepakatan terjadi dua minggu sebelumnya.
“Dua minggu lalu, tepatnya Rabu, mereka datang langsung. Ada dokter-dokter lainnya. Mereka bersilaturahmi dan meminta maaf kepada keluarga,” kata Risma.
Tak hanya itu, pihak rumah sakit juga memberikan tali kasih sebagai bentuk empati. Menurut Risma, sikap saling terbuka dan niat tulus mengakhiri konflik menjadi kunci utama keberhasilan mediasi.
“Kalau dibilang masalah anak itu, ya sudah clear. Rumah sakit dan dokter sudah datang langsung. Jadi anggaplah selesai,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Yusfansyah Dodi, S.H., kuasa hukum RSU Sylvani. Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp pada Sabtu (05/07), ia membenarkan bahwa semua pihak telah mencapai perdamaian.
“Ya memang sudah damai. Karena masing-masing pihak saling memaafkan dan tidak mempermasalahkan lagi,” tulisnya.
Namun ia menegaskan bahwa damai tidak berarti mengakui kesalahan. “Berdamai bukan berarti mengakui kesalahan. Itu karena kemauan para pihak. Kalau dari kacamata hukum, tidak ada kesalahan dalam penanganannya,” jelas Dodi.
Sebelumnya masalah bermula pada pertengahan September 2024, ketika Seprina mengalami perdarahan saat hamil. Ia kemudian memeriksakan diri ke dr. Tri Sugeng Hariadi yang menyatakan bahwa kondisinya tidak berbahaya.
Namun pendarahan terus berlanjut hingga muncul gumpalan darah. Pada 24 Oktober 2024 dini hari, Seprina masuk IGD RSU Sylvani. Sayangnya, kamar untuk pasien BPJS tidak tersedia.
Petugas menawarkan kamar isolasi, tetapi fasilitasnya dianggap tidak layak. Keluarga menolak dan diarahkan ke RS Artha Medika tanpa surat rujukan resmi. Namun, pihak RS tersebut menolak menangani karena membutuhkan persetujuan dari dr. Tri Sugeng.
Setelah kembali ke RSU Sylvani, Seprina dirawat dengan biaya pribadi karena kamar BPJS tetap tak tersedia. Ia diperbolehkan pulang setelah tiga hari, namun kontraksi kembali terjadi pada 3 November 2024.
Esoknya, pada 4 November, bayi lahir secara spontan tanpa bantuan medis. Bayi tersebut langsung dimasukkan ke inkubator dalam kondisi kritis.
Menurut penggugat, dr. Vivianna tak pernah memeriksa langsung kondisi bayi. Ia hanya berkoordinasi lewat pesan singkat. Bayi juga tidak mendapatkan asupan susu ataupun infus.
“Mereka hanya bilang bahwa menyelamatkan bayi ini hanya bisa lewat mukjizat,” ungkap Risma saat itu.
Puncaknya terjadi pada 5 November 2024 pukul 05.30 WIB, ketika keluarga diberi tahu bahwa bayi telah meninggal. Setelah proses pemulangan, keluarga terkejut saat mendapati bayi masih bernapas dan jantungnya berdetak.
Mereka segera membawa bayi kembali ke RSU Sylvani, namun dokter umum di IGD menyatakan bahwa bayi memang telah meninggal.
Kuasa hukum keluarga, Risma Situmorang, mengkritik keras pelayanan rumah sakit. “Kami menduga ada diskriminasi layanan antara pasien BPJS dan pasien berbayar. Ini jelas pelanggaran serius,” ujarnya kala itu.
Walau masalah ini menyisakan luka mendalam bagi keluarga Sitepu, keputusan untuk berdamai menunjukkan kedewasaan dari kedua pihak. Proses hukum yang cukup melelahkan kini digantikan oleh upaya saling memaafkan dan membuka ruang penyembuhan.
Dengan tali asih sebagai simbol perdamaian, RSU Sylvani dan keluarga korban menunjukkan bahwa mediasi dan dialog masih menjadi solusi paling manusiawi dalam menyelesaikan konflik yang rumit.(sr)