TANJUNGBALAI (Waspada) : Pandemi Covid 19 telah merubah kebiasaan dan tatanan di seluruh sendi kehidupan tak terkecuali dunia pendidikan. Para pendidik di berbagai tingkatan sekolah mau tak mau harus siap dan kreatif dalam praktik baik mengajar dengan memanfaatkan apa yang di sekeliling.
Di sini akan diceritakan berbagai kisah inspiratif gurus SD, SMP, dan SMA di masa pandemi. Ada empat narasumber yang hadir dalam sesi pertemuan virtual Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) Batch IV yang digagas Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) bekerjasama dengan PT Paragon Technology and Innovation, Senin (25/4).
Kisah inspiratif pertama datang dari Ketua Guru Belajar Yayasan Guru Belajar, Adelina Anggraini. Sebagai pembuka, Adelina menjelaskan Yayasan Guru Belajar merupakan sebuah organisasi fokus pada pemberdayaan guru serta pemimpin-pemimpin. Di Yayasan Guru belajar katanya ada tiga unit kerja yakni, Unit Cerita Guru Belajar fokus pada pengembangan karir protean guru, Unit Kampus Guru Cikal berfokus pada pelatihan pedagogik guru, dan Unit Kampus Pemimpin Merdeka fokus meningkatkan kemampuan pada sisi kepemimpinannya.
Saat ini dirinya diberi kesempatan untuk mengelola Unit Cerita Grup Belajar. Menurut Adelia, Cerita Guru Belajar sudah mendampingi 9.000 guru untuk mengembangkan karirnya melalui berbagai jalur seperti guru penulis, guru pelatih, guru pembicara, desainer komunikasi visual asesor maupun penyunting.
Di unit ini, beberapa program. Pertama, Temu Pendidik Nusantara yakni program konferensi tahunan yang mempertemukan guru, pemimpin, murid, aktivis pendidikan, dan seluruh pemangku kepentingan di ekosistem pendidikan untuk berbagi praktik baik dan saling menginspirasi. Program ini mendapatkan nominasi dari UNESCO masuk ke dalam lima nominasi sebagai program pengembangan karir guru untuk mewakili Indonesia ke kancah dunia.
Kedua, ada Surat Kabar Guru Belajar dan Surat Kabar Pemimpin Belajar. Surat kabar guru belajar ini adalah media digital berisi tulisan praktik baik dari murid yang akan menulis cerita pembelajaran di kelas. Kemudian ada pula pemimpin serta penggerak dan peneliti pendidikan yang akan menuliskan tentang cerita praktik baik serta konsep-konsep atau sumber inspirasi tentang pendidikan.
Selain menjadi penulis di cerita di surat kabar guru belajar, guru dan pemimpin juga mendapatkan kesempatan menjadi tim dewan redaksi surat kabar guru belajar dan surat kabar pemimpin belajar. Para guru biasanya guru menulis praktik baik pembelajarannya di dalam kelas baik itu praktik baik yang berhasil maupun yang belum berhasil.
Ketiga, ada program Kelas Penulisan Praktik Merdeka Belajar. Program ini gratis untuk para guru dan pemimpin yang ingin belajar menulis praktik baik. Ini untuk pemula dengan kerangka yang sederhana dengan harapan selain menggali kompetensinya, peningkatan keterampilan kompetensi menulis, juga mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan jenjang karir sebagai guru penulis yang nantinya akan menjadi pembicara di Temu Pendidik Nusantara.
Terakhir, Program Menejemen Karir Guru Belajar. Program ini fokus pada pengembangan karir guru bagaimana agar dapat mengaktualisasikan kompetensinya melalui berbagai jalur karir. Adel percaya bahwa jenjang karir guru tidak hanya sebatas struktural saja, tidak hanya guru wakil kurikulum maupun jadi kepala sekolah, tapi mampu mengembangkan karirnya dengan beragam jalur karir.
“Kami yakin dan percaya dengan berkolaborasi, kerja barengan gitu bisa saling menguatkan, berbagi praktik baik satu sama lainnya,” ujar Adel.
Salah satu kolaborasi yang baik saat pendemi adalah di program sekolah lawan Corona. Program ini merupakan pelatihan dan pendampingan guru untuk siap mengajar saat pandemi berisi modul. Guru merdeka belajar merancang strategi pembelajaran hingga assasment juga di sini surat kabar guru belajar sekolah lawan Corona yang berisi kumpulan profesi guru yang mengajar di awal pandemi.
Seorang guru SMP Negeri 1 Nagreg, Kab. Bandung, Jawa Barat, Iwan Ardhie Priyana berbagi cerita dalam praktik baik yang telah dilaksanakan di sekolahnya. Menurut Iwan, dirinya pernah membaca buku tentang pendidikan di Finlandia yang di sana ada mata pelajaran yang disebut mata pelajaran keluarga.
Saya tertarik dan mengagumi bahwa di negara yang maju seperti itu ada mata pelajaran yang sifatnya mata pelajaran keluarga. Dia berpikir kalau selama ini di Eropa itu mata pelajarannya kebanyakan sains dan teknologi. Di sana, para siswa betul-betul mempelajari praktek di rumah tangga seperti mencuci, membuat kue, membantu orang tua, dan sebagainya.
Peristiwa ini di Finlandia ini menjadi referensi Iwan saya sebagai guru berhadapan dengan kenyataan saat diahantam badai Covid 19 di awal tahun 2020. Sekolah tempatnya mengajar sebenarnya tidak siap ya dengan perubahan seperti belajar daring yang biasanya menggunakan sistem tatap muka dan ruangan tertutup, jadi tiba tiba diliburkan diganti belajar dari rumah.
“Kami para guru kaget karena tidak pernah bersiap untuk menghadapi seperti ini, terlihat dari bagaimana guru gagap ketika kita memberikan pelajaran menggunakan teknologi yang juga tidak tidak siap semua,” ungkap Iwan.
Dalam proses belajar daring ini, banyak kendala dan tantangan seperti signal, tipe HP, memori cukup padahal para guru harus memberikan pelajaran. Untuk menghadap tantangan ini, Iwan berpikir keras bagaimana caranya memberikan pembelajaran agar tetap efektif, efisian, dan berjalan dengan baik.
Iwan mengingat bahwa Menteri Pendidikan menetapkan kurikulum merdeka yang lebih sederhana bersifat lokal. Iwan kemudian merancang pembelajaran yang disebut belajar dengan kehidupan. Artinya ketika anak-anak kembali ke rumah namun menjadikan rumah sebagai sekolah.
Sebagai guru bahasa Indonesia, Iwan membuat sebuah rancangan di mana anak-anak membantu orang tua mengerjakan pekerjaan sehari-hari di rumah. Iwan kemudian menyusun proyek pembelajaran selama enam hari yang diberikan pada siswa.
Hari pertama, anak-anak itu diminta mencuci pakaian sendiri. Setelah itu, para murid diminta membuat tulisan dan narasi yang dilanjutkan membuat refleksi. Ini adalah materi pembelajaran tentang teks prosedur dikaitkan dengan kegiatan di rumah yaitu mencuci.
Kemudian pada hari kedua Iwan membagikan sebuah video tentang social distancing. Mereka punya proyek nonton video kemudian menuliskan kembali dengan bentuk persuasif, mengajak teman-temannya untuk melakukan sosialisasi.
Hari ketiga, Iwan memberikan proyek sederhana untuk belajar kebersihan di rumah. Jadi mereka membantu orang tua membersihkan lingkungan rumahnya. Para siswa lalu melaporkan apa yang telah mereka kerjakan dalam teks narasi seperti bercerita.
Hari keempat, ada tugas itu belajar berempati. Mereka diberi kesempatan untuk bertemu berkumpul dengan orang tuanya kemudian mereka bertanya bagaimana rasanya jadi orang tua, bekerja mencari nafkah, susah senang kehidupan, dan repotnya mengurus rumah tangga.
Hari kelima, anak anak belajar memasak yang sederhana bekerja sama dengan ibunya untuk disajikan untuk keluarga, atau mengirim makanan itu kepada orang tuanya yang bekerja di sawah. Para siswa harus punya dokumentasi proyek, lalu Iwan akan memberikan penilaian pada akhir semester.
“Ketika saya minta orang tuanya berkomentar, mereka sangat senang karena anak-anak dapat membantu kegiatan di rumah,” pungkas Iwan.
Pembicara berikutnya, Guru SDI Nurul Hikmah, Legok, Kab. Tangerang, Banten, Li’lli Nur Indah Sari. Lili mengaku sebenarnya sudah lama ia merasakan keresahan tentang pembelajaran terutama ketika anak-anak itu belajarnya hanya menghabiskan buku terus di akhir disuruh mengerjakan soal.
Ketika pada akhirnya Lili belajar asesmen yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk melihat kondisi setiap muridnya agar bisa membuat strategi untuk membantu proses belajarnya murid untuk mengantarkan merka mencapai kompetensi. Awalnya Lili bingung harus memulai dari mana berubahnya, akhirnya dia berpikir untuk beradaptasi dengan sistem belajar yang baru memanfaatkan apa yang ada di rumah yang dengan kondisi di rumah itu berbeda-beda.
Guru kelas 1 dan 2 SD ini lalu merefleksikan kompetensi anak- anak menerapkan peraturan yang ada di rumah dan bisa menceritakannya. Dari awal Lili langsung mengajak mereka untuk berkenalan dengan aturan. Dari situ Lili merefleksikan kondisi rumah masing-masing, seperti berantakan habis main, meletakkan handuk di tempat tidu usai mandi, tidak boleh menyalakan kompor dan lainnya.
“Proyek ini menjadikan anak-anak seperti polisi aturan di rumah, yang namanya project based itu kan kita melakukannya dari setiap di tengah, bagaimana ketika aturan itu diterapkan dan konsistensinya menjadi polisi aturan di rumah, maka itu juga saya mencantumkan penilaian dari orang tua apakah hanya di awal saja,” terang Lili.
Pembicara keempat, Guru Fisika SMA Negeri 1 Sijuk Belitung, Bangka Belitung, Virandy Putra. Virandyt mengatakan kegiatan mengajar saat masa pandemi setahun pertama melihat kondisinya ini cukup menyulitkan guru-guru. Dirinya kaget terhadap sistem yang baru di awal karena tidak pernah terpikirkan dan terbayang bisa mengajar secara online atau secara daring menggunakan berbagai macam aplikasi.
Para guru mau tidak mau harus bisa menerapkan teknologi untuk mendukung pembelajaran. Virandy biasanya di awal meminta murid untuk menyampaikan keinginan-keinginan mereka terhadap pembelajaran yang disebut assessmen diagnostik.
“Sebelum mengajar kita harus tahu dulu di kesiapan peserta didik. Kesiapan pandemi yang seperti sinyal dan gadget yang harus benar-benar didiagnostik terlebih dahulu,” papar Virandy.
Jadi terkait assessment diagnostik jadi saya menanyakan kendala-kendala saat belajar daring, ternyata mereka siswa kebanyakan hp-nya kurang mendukung, ketika diinstal berbagai macam jenis aplikasi, memorinya tidak mencukupi, belum lagi setiap guru berbeda-beda.
Virandy lalu mencari tahu para siswa biasanya menggunakan media sosial apa saat berinteraksi. Ternyata, kebanyakan menggunakan instagram. Di sisi lain, Virandy juga sering menggunakan Instagram untuk mencari informasi dan menyampaikan materi-materi terkait dengan pelajaran di sekolah.
Virandy lalu mengutip survey dan penelitian dari Tanoto Foundation 2020, ternyata 47 persen siswa merasa kurang senang belajar di rumah karena banyaknya tugas. Bayangkan kata Virandy, misalnya SMA ada 11 pelajaran, ada 11 tugas mereka harus kerjakan, betapa stress para murid.
Untuk pembelajaran daring, sebetulnya sangat beragam aplikasinya, beberapa guru men-share video di grup WA, lalu dianalisis. Ada pula menggunakan zoom meeting, google classroom, dan salah satu yang paling jarang digunakan yaitu media sosial Instagram.
Padahal fitur di Instagram sendiri sangat banyak yang bisa digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi. VIrandy lalu memilih Instagram sebagai media pembelajaran, karena salah satu media yang paling banyak digunakan di Indonesia atau bahkan di dunia.
“Nah jadi saya cari celah di sosial medianya. Saya ubah beberapa fitur-fitur yang biasanya untuk share foto menjadi penjelasan materi pelajaran fisika,” ucap Virandy.
Kontennya yang diberikan kata Virandy harus menarik dan dibuat sesuai dengan kebutuhan murid. Sedangkan untuk komunikasi, Virandy biasanya sering-sering siarang langsung di Instagram menjelaskan materi meniru orang-orang yang sering jualan di Instagram.
Anak-anak bisa berinteraksi memberikan pertanyaan dan memberikan jawaban atau penjelasan di kolom komentar. Untuk mengisi daftar hadir pembelajaran memberikan tugas-tugas seperti itu, Virandy menggunakan Google Form.
Untuk penilaian, pria ini menggunakan fitur kuis di Instagram seperti soal-soal pelajaran yang telah dilakukan dan menariknya sering ditunggu-tunggu oleh murid. Mereka jadi senang mengerjakan tugas dan kuis, jadi seperti tidak berasa belajar tapi sebenarnya mereka belajar.
Beberapa contoh materi pembelajaran yang sering diposting di Instagram seperti kehidupan sehari-hari seperti tentang listrik statis, cahaya tidak muncul bersamaan saat petir, ada penjelasan secara ilmiah kenapa kalau musim hujan besi terasa dingin padahal suhu lingkungannya sama, dijelaskan secara konsep fisika yang terjadi dengan kehidupan sehari-hari.
“Menjadi guru itu saya anggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan kreativitas sehingga guru bisa melihat apa yang hanya murid-muridnya mau, untuk mencapai kompetensi yang diinginkan,” tutup Virandy. (a21)












