MADINA (Waspada): Carut-marut sengketa lahan di Batahan, termasuk persoalan lahan di kawasan Tompek, Kec. Batahan, Kab. Mandailingnatal, merugikan masyarakat.
“Terlepas dari legal atau ilegal; itu kebun. Dari sisi plasma, yang semestinya bisa dinikmati masyarakat sekitar dengan ketentuan 20% dari luas kebun (1.200 ha),” ujar HM. Amin Nasution, SH, MH, pengamat hukum, praktisi hukum dan akademisi asal Madina bermukim di Jakarta kepada waspada.id dan beritasore.co.id, Sabtu (16/9).
Maka, lanjut advocat ini, plasmanya minimal harus dikeluarkan 240 hektare, dengan asumsi berpenghasilan Rp2 jt/bln/ha, maka uang yang semestinya bisa dinikmati masyarakat sekitar adalah Rp480 juta/bulan.
Perjalanan jurnalistik di Pantai Barat Madina jilid 2 waspada.id, beritasore.co.id, manyota.id, hayuaranet.id, waspada.co.id Selasa (12/9) sampai Kamis (14/9), menunjukkan persoalan sengketa lahan 1.200 ha di kawasan Tompek, Kec. Batahan, makin mengindillkasikan berbagai oknum.
Akibat ulah “mafia tanah” itu, lahan KUD Pasar Baru Batahan ‘diserobot’ “perusahaan raksasa berplat merah” sekira 1.200 hektare. Hal tersebut terjadi diduga karena perusahaan berada di bawah naungan BUMN tak berhasil menguasai lahan di Tompek meskipun dikabarkan telah mengeluarkan biaya Rp7 miliar saat pengambilalihan (take over) dari perusahaan swasta pertengahan pada 2000-an.
Dugaan itu disampaikan Ahmad Fathoni, salah satu warga Batahan, aktivis dan tokoh masyarakat setempat ketika diwawancarai di salah satu warung kopi di Batahan.
“Itu kemarin sudah dijelaskan pemerintah kabupaten, tidak pernah ada izin lain dikeluarkan di lokasi yang 3.200 hektare selain ke KUD Pasar Baru Batahan,” katanya terkait “perusahaan raksasa berplat merah” disebut menyerobot 1.200 hektare lahan KUD.
“Lahan yang ini (Tompek) setelah take over dari statusnya kemudian kadastral untuk dinaikkan izinnya, tapi izin HGU tidak keluar karena di lapangan ternyata dikuasi masyarakat, ada tumpang tindih kepemilikan,” terangnya.
Bersamaan dengan take over “perusahaan raksasa” milik negara, Bupati Madina mengeluarkan izin lokasi kepada KUD Batahan 3.200 hektare berbatasan dengan Kebun Balap milik PTPN IV. Lahan tersebut disiapkan sebagai lokasi pembangunan plasma oleh perusahaan plat merah itu dengan model kemitraan.
Namun, belakangan, hanya ditanami sekira 1.700 hektare, sisanya 1.200 hektare ‘diserobot’ “perusahaan berplat merah”, dan sekira 400 hektare lainnya bersengketa karena tumpang tindih kepemilikan.
Mantan Humas Kebun Balap PTPN IV Nopan menerangkan, sengketa KUD dengan perusahaan terkait lahan 1.200 hektare adalah efek dari aksi “mafia tanah” di areal Tompek. Pihaknya saat ini sedang berupaya mengambil alih kembali lahan tersebut.
“Ya. Upaya (pengambilalihan) itu ada. Kemarin kami kurang dukungan. Ini sensitif karena melibatkan beberapa oknum, oknum Pemkab juga ada,” katanya dihubungi melalu seluler, Kamis (14/9).
Dia menjelaskan, ketika hal tersebut berhasil akan ada opsi pengembalian tanah kepada masyarakat. “PTPN IV akan menyelesaikan ini sampai clear,” jelasnya.
Sementara itu, bagian SDM PTPN IV yang juga merupakan Humas ketika dihubungi menyanggupi untuk memberikan jawaban, tapi sampai berita ini dirilis jawaban konfirmasi yang dikirim sejak Kamis (14/9) pukul 08.00 WIB tak juga diterima.
Sebelumnya, Camat Batahan Irsal Pariadi menerangkan, ada beberapa orang menjual lahan di Tompek kepada perusahaan swasta. Lahan itu, jelas Irsal, bahkan sempat dua kali dijual kepada perusahaan yang sama dengan mengatasnamakan masyarakat.
Di samping itu, lahan tersebut juga dijual kepada perorangan sehingga bisa disimpulkan, sebagian dari 1.200 hektare itu ada yang dijual sampai tiga kali. “Ternyata lahan itu juga dijual kepada warga Sidimpuan, Pasaman, Panyabungan,” kata Irsal di ruang kerjanya, beberapa hari lalu.
Dalam areal tersebut, ada sekira 400 hektare yang menimbulkan sengketa panjang di tengah-tengah masyarakat. Sesuai kesepakatan bersama diputuskan 168 hektare distanvaskan. Namun, hingga hari ini menjelang satu tahun sejak status stanvas dikeluarkan belum ada penyelesaian lebih lanjut. (irh)