LANGKAT (Waspada): Laju kerusakan hutan mangrove di pesisir Langkat yang dipicu oleh aktivitas illegal, seperti penebangan liar dan praktik konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit saat ini mengkhawatirkan.
Salah seorang aktivis lingkungan di Langkat, Azhar Kasim, kepada Waspada, Minggu (17/11), mengatakan, total luas kawasan hutan mangrove di Langkat kurang lebih 70.000 Ha dan 70% lebih luas tersebut saat ini kondisinya kritis.
Menurut dia, kerusakan ekosistem ini akibat aksi penebangan liar pohon bakau dan praktik konversi (alih fungsi) hutan yang merajalela hampir di seluruh wilayah pesisir Langkat.
Salah satu contoh, katanya, di Desa Lubuk Kertang ada sekitar 800 ha pohon mangrove yang ditanam oleh komunitas warga pencinta lingkungan, kini pohon bakau yang tumbuh hijau nyaris punah akibat aksi penebang liar.
Masih di desa yang sama, ada pengusaha mengkonversi kawasan hutan mangrove mencapai ratusan hektar, tapi yang menjadi ironi, pengusaha tersebut hingga kini tidak terjamah hukum.
Menurut aktivis lingkungan itu, salah satu faktor merajalelanya aksi eksploitasi terhadap kawasan hutan mangrove di Langkat akibat lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak yang berkompeten.
Pantauan Waspada beberapa hari lalu, alat berat excavator beroperasi membangun benteng untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan mangrove di Dusun IV, Desa Sei. Siur, Kec. Pangkalansusu.
Warga resah dan mereka meminta aksi perusakan hutan segera dihentikan, karena selain berdampak terhadap lingkungan, juga berimplikasi besar terhadap perekonomian nelayan tradisional dan usaha budidaya ikan.
Aksi perambahan hutan mangrove juga terjadi Lingk II, Kel. Pangkalan Batu, Kec. Brandan Barat. Aksi yang diduga ilegal ini dilakukan sejumlah oknum yang mengatasnamakan kelompok tani.
Aktivis lingkungan meminta petugas Balai Gakkum KLHK atau KPH untuk mengambil tindakan tegas terhadap pelaku yang telah merusak hamparan hutan mangrove di daerah pesisir pantai ini.
Upaya rehabilitasi yang dilakukan selama ini untuk memulihkan kawasan hutan mangrove di Langkat dengan menyedot anggaran yang cukup besar dari pemerintah akan sia-sia jika penegakkan hukum tidak berjalan. “Harusnya ada sanksi hukum,” kata Azhar.
Sebelumnya, Lurah Pangkalan Batu, Jamilah, saat dikonfirmasi Waspada menyatakan, pihaknya sudah turun ke lapangan meminta kepada Kelompok Tani untuk menghentikan aktivitas ekskavator di kawasan hutan ini.
Jamilah menjelaskan, pihaknya hanya bisa sebatas menghimbau, sebab selaku lurah ia tidak punya kapasitas melakukan eksekusi. “KPH yang berwenang mengambil tindakan,” ujarnya seraya menegaskan, ia tak pernah menerbitkan surat buat kelompok tani KBS.
Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat KPH Wilayah I Stabat, Tanta Perangin-angin, dikonfirmasi menjelaskan Kelompok Tani Keberhasilan Bersama (KBS) tidak ada teregestrasi di institusi kehutanan.
Tanta mengutarakan, pihak kelompok tani tersebut sudah membuat pernyataan tidak meneruskan kegiatan. “Jika mereka tetap melanjutkan kegiatan, maka akan dilakukan tindakan hukum,” kata Tanta Perangin Angin.
Masyarakat saat ini menunggu komitmen pihak yang berkompeten untuk mencegah agar kerusakan hutan di wilayah pesisir Pantai Timur tidak semakin meluas. Salah satu upaya pencegahan, yakni lewat pendekatan hukum. (a10)