LUBUKPAKAM (Waspada.id): Keadilan kembali tersendat di ruang pengadilan. Pengadilan Negeri Lubukpakam mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Juwita, 58, dan anaknya, Kelvin, 24, dua orang yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian Ripin alias Achien, 23, keponakan mereka sendiri.
Hakim menyatakan penetapan tersangka, proses penyidikan, hingga penangkapan terhadap keduanya cacat hukum dan tidak sah. Kepolisian pun diperintahkan segera membebaskan Juwita dan Kelvin dari Rumah Tahanan Negara Polresta Deli Serdang.
Putusan praperadilan itu dibacakan Kamis (11/12/2025), sebagaimana tercatat dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Lubukpakam. Permohonan praperadilan diajukan secara terpisah oleh Juwita dan Kelvin pada 12 November 2025, dengan termohon Kapolri cq Kapolda Sumatera Utara cq Kapolresta Deli Serdang cq Kasat Reskrim Polresta Deli Serdang.
Dalam amar putusannya, hakim menyatakan Surat Ketetapan Nomor S.Tap.Tsk/278/X/RES.1.7/2025/Satreskrim tertanggal 27 Oktober 2025 tentang penetapan tersangka tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap para pemohon.
Putusan ini langsung menuai reaksi keras dari pihak keluarga korban. Pengacara keluarga Ripin, Mardi Sijabat, SH, MH, pada Selasa (16/12/2025), meminta Kapolri turun tangan dan memerintahkan Kapolres Deli Serdang bekerja lebih profesional dengan menyempurnakan berkas perkara pembunuhan Ripin.
“Di mana keadilan negara? Ini kasus pembunuhan. Ini menyangkut nyawa manusia, kok dipermainkan begitu. Kita menduga ada permainan hukum,” kata Sijabat dengan nada geram.
Menurut Sijabat, sejak awal penyidikan, kasus ini sarat kejanggalan. Salah satunya terlihat pada proses penetapan tersangka Juwita dan Kelvin yang dilakukan secara tertutup pada Senin malam (27/10/2025) di Mapolresta Deli Serdang.
“Dalam banyak kasus, bahkan untuk perkara kecil, polisi menggelar konferensi pers saat menetapkan tersangka. Tapi dalam kasus pembunuhan Ripin, penetapan tersangka justru dilakukan diam-diam, seperti disembunyikan,” ujar Sijabat.
Ia mengungkapkan, informasi penetapan tersangka itu justru disampaikan langsung oleh Kapolres Deli Serdang kepadanya pada malam hari, bukan melalui mekanisme terbuka kepada publik.
Sebelum putusan praperadilan dibacakan, informasi lain juga sempat beredar di lingkungan keluarga korban. Juwita disebut pernah menyatakan kepada keluarganya bahwa ia tidak akan bermasalah dengan penyidik dan bahkan akan memperoleh Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3), karena mengaku telah ada “kesepakatan” dengan penyidik Polres Deli Serdang.
Kasus kematian Ripin memang sejak awal menyedot perhatian publik. Penetapan tersangka dinilai lamban dan tidak transparan. Putusan praperadilan yang kemudian membatalkan status tersangka Juwita dan Kelvin justru memperlebar tanda tanya tentang kualitas dan integritas proses penyidikan.
Data Badan Penyelidik Kejaksaan Agung (BPKA) terkait penanganan kasus pembunuhan di Sumatera Utara sepanjang 2025 mencatat, transparansi penyidikan dan kejelasan penetapan tersangka merupakan faktor krusial dalam menjaga kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Banyak perkara tersendat bukan karena kekurangan alat bukti, melainkan karena proses yang tidak terbuka dan tidak akuntabel.
Dalam konteks itu, putusan praperadilan kasus Ripin menjadi titik balik yang memaksa publik menengok ulang seluruh proses penyidikan—serta mempertanyakan keberadaan negara dalam menjamin keadilan bagi korban yang telah kehilangan nyawa.
“Kami berharap kepolisian segera mengambil langkah yang benar dan terukur untuk menyempurnakan berkas perkara ini. Korban juga punya hak atas keadilan, bukan hanya tersangka yang dilindungi,” kata Sijabat.
Ia menegaskan, keluarga korban akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, memastikan proses hukum berjalan sesuai aturan—bukan sekadar selamat secara prosedural, tapi juga adil secara moral. (ram)











