DELISERDANG (Waspada): Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-Sumut) Dr Faisal Riza MA menilai jika masyarakat Deliserdang menginginkan perubahan dari usaha-usaha melanggengkan politik “dinasti” caranya harus ada kepemimpinan alternatif.
“Kalau pengennya perubahan dari usaha-usaha melanggengkan dinasti politik, maka pilihannya harus ada kepemimpinan alternatif yang memungkinkan ruang berbeda, masa depan yang berbeda,” kata Dr Faisal Riza, kepada Waspada, disela-sela peluncuran Maskot dan Jingle Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Deliserdang, di Graha Bhineka Perkasa Jaya, Kecamatan Lubuk Pakam, Rabu (10/7).
Dr Faisal Riza yang menanggapi kurang lebih 20 tahun politik “Dinasti” memimpin Kabupaten Deliserdang sejak Amri Tambunan, Ashari Tambunan dan kini dr Asri Luddin Tambunan M. Ked (PD), Sp. PD (dr Aci) yang saat ini menjabat Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) Deliserdang maju menjadi Bakal Calon (Bacalon) Bupati Deliserdang 2025-2030.
Selama kurang lebih 20 tahun politik “Dinasti” memimpin Deliserdang, kata Riza dapat diartikan sebuah keberhasilan keluarga mengkader menjadi pemimpin. Dan sebaliknya kegagalan partai politik menciptakan kadernya menjadi pemimpin.
“Ya satu sisi itu, kita anggap keberhasilan keluarga dalam mengkader, menghasilkan kepemimpinan di keluarga mereka. Tapi partai politik sebagai kelompok masyarakat yang punya keinginan, kemudian menciptakan ruang-ruang yang adil, yang setara untuk distribusi kepemimpinan baru yang lebih menjanjikan. Ini menawarkan apa kepada masyarakat ?. Kalau dia menawarkan yang lebih baik, masyarakat akan pilih, tapi kalau nggak, justru dia bahagian dari dinasti politik itu ya, apa boleh buat itulah yang kita terima,” ungkapnya.
Awalnya Riza menjelaskan, bahwa politik “dinasti” itu sebenarnya alam pikiran secara tradisional yang menyakini bahwa kepemimpinan itu bisa dilanggengkan lewat distribusi jalur keturunan. “Karena itu, kalau alam pikiran menyebar ke masyarakat ketika ada usaha-usaha pelangengan dinasti itu masyarakat menerima, itu yang membuat dinasti politik awet,” sebutnya.
Tapi lanjut Riza, proses demokrasi modern itu sebenarnya memberikan pilihan. “Kalau rekrutmen kepemimpinan itu bisa dilakukan dengan cara-cara yang modern. Nah demokrasi memberikan ruang itu memilih. Sekarang bagaimana misalnya mekanisme proses pendidikan, pengkaderan yang dikerjakan oleh partai politik dalam menghasilkan kepemimpinan modern ?,” tanyanya.
Menurut Riza, partai politik menghasilkan kepemimpinan modern masih bermasalah, padahal partai politik sebagai lembaga demokrasi yang modern harusnya bisa menciptakan mekanisme modern sehingga menghasilkan pemimpin yang kompeten dan modern. “Kalau ini tidak dikerjakan alam pikiran tradisional (politik dinasti) masih berlaku,” ujarnya.
“Kalau politik modern itu ya, modernitas itu menjanjikan kesejahteraan, menjanjikan kesetaraan. Kalau janji-janji ini diterima, maka pilihannya harus mengambil jalur politik yang terbuka, yang modern. Tidak dinasti,” tambah Riza.
Lantas Riza pun menyebut, bila dinilai dari sudut kelebihan dan kekurangan, politik “dinasti” tersebut banyak kekurangannya. “Kelebihan, misalnya kekuatannya solid dan akan muda membangun, tidak banyak gangguan, tidak banyak protes. Tapi soliditas yang kuat menciptakan tidak memberi ruang suara alternatif, kemudian tidak mengembangkan pikiran-pikiran diluar diri mereka. Sisi buruk lainnya adalah dia (politik dinasti) punya watak tidak bisa mendistribusikan kenikmatan pembangunan daerah secara baik karena dia akan beredar kepada keluarga-keluarga kuat aja,” katanya. (a16/a01)