TINGGIRAJA, Asahan (Waspada.id): PT BSP Kisaran melakukan penertiban dan pengamanan aset di areal Estate Kuala Piasa, Desa Piasa Ulu, Kec Tinggi Raja, dengan merobohkan pondok dan blokade jalan yang dilakukan oleh sekelompok oknum warga yang mengklaim lahan milik leluhurnya, sehingga mengganggu aktivitas perusahaan setelah aktivitas panen terganggu, Jumat (17/10).
Area Manager PT BSP Kisaran Raju Wardhana mengatakan, kegiatan yang dilakukan pihaknya hari ini merupakan upaya untuk melanjutkan proses panen yang sempat tertunda.
“Sudah empat rotasi, atau sekitar satu bulan, kami tidak bisa panen karena akses jalan ditutup para penggarap. Akibatnya, perusahaan mengalami kerugian sekitar Rp136 juta. Kami terpaksa melakukan penertiban agar kegiatan panen kembali berjalan dan pekerja bisa memperoleh hasil,” jelas Raju.
Sementara itu, Public Relations dan External Affair Department Head PT BSP Kisaran, Yudha Andriko, menambahkan bahwa tindakan para penggarap sudah melampaui batas.
“Mereka telah memblokir dua blok area kebun dengan membuat pagar di jalan, sehingga pekerja tidak dapat memanen hasil. Ini jelas menyebabkan kerugian bagi perusahaan,” terang Yudha.
Menurut Yudha, langkah penertiban yang dilakukan PT BSP sudah sesuai dengan prosedur hukum dan dilakukan dengan pengamanan ketat.
“Kami menegaskan, tindakan ini bukan tindakan sepihak. Sebelumnya sudah ada upaya mediasi dan diskusi dengan pihak penggarap, bahkan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Asahan. Dalam RDP itu disarankan agar tidak menghalangi kegiatan operasional kebun, namun kenyataannya para penggarap tetap melakukan blokade dan pelarangan panen,” ujarnya.
Ia menambahkan, bila pihak penggarap merasa memiliki hak atas lahan tersebut, seharusnya menempuh jalur hukum.
“Sampai hari ini, mereka tidak melakukan langkah hukum apa pun, baik perdata maupun pidana. Karena itu, kami mengambil langkah tegas untuk menertibkan aset perusahaan,” tegas Yudha.
Terkait legalitas lahan, Yudha menjelaskan bahwa HGU PT BSP saat ini sedang dalam proses pembaruan di kementerian terkait.
“Secara historis, area ini memang sudah menjadi HGU BSP sejak lama. Bahkan sebelum kemerdekaan, lahan ini sudah dikelola oleh perusahaan Belanda. Kami hanyalah penerus investasi itu hingga saat ini,” tambahnya.
Sementara dari pihak perwakilan masyarakat Desa Padangsari, Mawardi Manurung yang mengaku dan menyatakan bahwa lahan yang dikelola PT BSP ini merupakan tanah warisan leluhur mereka.
“Kami memiliki bukti berupa SKT No. 37/1934 atas lahan seluas sekitar 300 hektare. Kami juga membayar pajak dan hanya menuntut hak kami sebagai pewaris sah. Dalam hal ini kami juga didampingi pengacara,” jelas Mawardi. (id40)