BINJAI (Waspada): Satuan Mahasiswa (Satma) Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Kota Binjai, menggelar dialog bersama Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) di Jalan Jawa, Kecamatan Binjai Utara, Kamis (19/1).
Pada dialog tersebut, Satma AMPI dan FKMTI membahas tentang pola penguasaan korporasi mafia tanah dalam merampas tanah masyarakat di Indonesia. Dialog ini dihadiri Koordinator Lapangan Nasional FKMTI, Alfan Arsyad.
Turut hadir sejumlah narasumber, yakni Aktivis HAM Effendi Sembiring,
Lembaga Batuan Hukum Medan yang diwakili Randi Permana dari HMI, anggota Peradi Binjai-Langkat Randa Faturahman Hakim, dan Ketua AMPI Kota Binjai Zaini Sembiring.

Dalam dialog itu, Koordinator Lapangan FKTMI menyampaikan contoh kasus yang dialami langsung Ketua FKTMI Supardi Kendi Budihardjo, di Jakarta. Dimana dalam kasus tersebut, Budihardjo ditahan polisi hanya gara-gara mempertahankan tanah yang sudah menjadi haknya.
Dijelaskan Alfan, kasus ini berawal ketika Budihardjo membeli tanah dari Hamid selaku pemilik tanah. “Dasar surat milik Hamid berupa surat Girik C dan akta jual beli tahun 1976,” ujar Alfan.
Singkatnya, lanjut Alfan, disaat surat ingin ditingkatkan, BPN menolak dengan alasan ada pihak lain mengaku memiliki aset yang sama. “Mafia yang mengaku pemilik tanah itu kita tidak tahu dasarnya apa. Dari proses hukum yang dijalani, mereka hanya memiliki HGB tahun 1997,” ucapnya.
“Nah, anehnya, perusahaan mereka saja berdiri tahun 2008, bagaimana bisa perusahaan belum lahir tapi sudah membuat perjanjian HGB tahun 1997. Jadi kami menilai, awalnya saja sudah salah, maka semua bukti yang dimiliki mafia itu pun salah. Tapi mafia punya segalanya, dia menang dan Budihardjo saat ini sedang ditahan polisi,” tambahnya.
Lebih lanjut dikatakannya, pola permainan mafia untuk menguasai tanah dengan cara membenturkan sesama masyarakat. Disaat satu kelompok sudah berhasil menduduki, maka pihak mafia akan hadir untuk menguasai lahan tersebut.
Sementara itu, anggota Peradi Binjai-Langkat, Randa Faturahman Hakim, mengakui polemik agraria di Indonesia hingga saat ini masih sangat kompleks. Bahkan hampir merata terjadi di seluruh pelosok negeri.
“Berkaitan dengan kasus tadi, ada baiknya pihak Budihardjo mengajukan PTUN. Nantinya akan dapat dikaji ulang siapa pemilik yang sah. Terkait surat Girik, tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, tetapi diatur dalam PP No 24 Tahun 1997. Artinya, Girik dapat ditingkatkan menjadi hak milik,” ucapnya.
Randa menyebutkan, banyak masyarakat yang memegang Girik tidak mendaftarkan atau mencatatkannya ke BPN. Sehingga dapat dimanfaatkan pihak ketiga. “Semestinya, Girik harus didaftarkan. Sehingga tidak ada pihak lain yang dapat mengakui kepemilikan aset milik kita,” tegasnya.
Pendapat tegas disampaikan Ketua AMPI Binjai, Zaini Sembiring. Menurutnya, konflik tanah tidak akan pernah tuntas apabila oknum pejabat terkait tidak mengubah pola pikirnya. “Kalau pejabatnya masih mau bermain, tidak akan ada itu penyelesaian. Jadi sebagai rakyat, kita serahkan persoalan ini ke wakil rakyat. Kita berharap, agar wakil rakyat kita bisa melek dengan konflik lahan yang masih terjadi,” tegasnya.
Dialog terus berlanjut, bahkan para mahasiswa yang hadir sebagai peserta antusias mengikuti kegiatan. Tanya jawab pun mengalir dari para peserta dialog. Diakhir kegiatan, Koordinator Lapangan FKMTI, Alfan, berharap agar presiden dapat membuat badan adhoc seperti KPK untuk menuntaskan konflik lahan di negeri ini. (a34)