Scroll Untuk Membaca

Sumut

Sidang Gugatan Malpraktik RSU Sylvani Bergulir, Kuasa Hukum Ungkap Dugaan Diskriminasi BPJS

Sidang Gugatan Malpraktik RSU Sylvani Bergulir, Kuasa Hukum Ungkap Dugaan Diskriminasi BPJS
Sidang gugatan malpraktik RSU Sylvani bergulir di Pengadilan Negeri Binjai, Selasa (3/6).
Kecil Besar
14px

BINJAI (Waspada): Sidang perdana perkara gugatan perbuatan melawan hukum nomor 26/Pdt.G/2025/PN Bnj resmi dimulai di Pengadilan Negeri Binjai, Selasa (3/6).

Gugatan ini dilayangkan oleh sepasang suami istri, Muhammad Tuah Permana Sitepu dan Seprina Dwi Cahaya Br. Sitepu, yang kehilangan anak pertama mereka akibat dugaan malapraktik medis di RSU Sylvani, Binjai.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Mereka menggugat lima pihak sekaligus. Tergugat I adalah RSU Sylvani, diikuti oleh dr. Tri Sugeng Hariadi (Spesialis Obstetri dan Ginekologi), dr. Vivianna (Spesialis Anak), dr. Siti Fatimah (Dokter Umum), serta PT RSU Sylvani sebagai pihak korporasi. Gugatan didaftarkan melalui e-court dan kini telah memasuki proses persidangan.

Namun, sidang pertama belum dapat berjalan lancar. Hakim ketua, Mukhtar menunda sidang karena pihak tergugat belum menyiapkan surat kuasa. Kuasa hukum RSU Sylvani, Yusfansyah Dodi, mengakui hal tersebut secara langsung dalam persidangan.

“Belum siap, Yang Mulia, surat kuasa dalam perkara ini,” katanya di hadapan majelis hakim.

Risma menjelaskan, masalah bermula pada pertengahan September 2024. Seprina mulai mengalami perdarahan saat hamil.

Ia memeriksakan diri ke dr. Tri Sugeng Hariadi. Dokter menyatakan kondisinya tidak berbahaya. Namun, perdarahan terus berlanjut, bahkan muncul gumpalan darah.

Pada 24 Oktober 2024 dini hari, Seprina masuk IGD RSU Sylvani. Sayangnya, kamar untuk pasien BPJS tidak tersedia.

Petugas menawarkan kamar isolasi yang fasilitasnya dianggap tidak layak. Karena menolak, pasien justru diarahkan ke RS Artha Medika tanpa surat rujukan resmi. Di sana, dokter menolak menangani karena butuh persetujuan dokter Tri Sugeng. Ia pun menyarankan pasien kembali ke RSU Sylvani.

Setelah kembali, pasien akhirnya dirawat dengan biaya pribadi karena kamar BPJS tetap tidak tersedia. Tiga hari kemudian, kondisi membaik dan ia diperbolehkan pulang. Namun pada 3 November 2024, kontraksi kembali terjadi.

Seprina kembali ke RSU Sylvani dan mendapatkan obat penguat kandungan. Namun kontraksi terus berlanjut hingga bayi lahir sendiri tanpa bantuan medis pada sore hari, 4 November 2024. Bayi dalam kondisi kritis, namun masih hidup dan dimasukkan ke dalam inkubator.

Sayangnya, para penggugat menyoroti bahwa dr. Vivianna tidak pernah memeriksa langsung bayi tersebut. Ia hanya berkoordinasi via pesan singkat. Bayi juga tidak diberi susu atau infus.

“Mereka hanya bilang bahwa menyelamatkan bayi ini hanya bisa lewat mukjizat,” kata kuasa hukum Risma Situmorang.

Keesokan harinya, pada pukul 05.30 WIB, keluarga diberi tahu bahwa bayi telah meninggal. Setelah dimandikan dan dibedong, bayi dibawa pulang.

Namun keluarga terkejut karena mendapati bayi masih bernapas dan jantungnya berdetak. Bayi segera dibawa kembali ke RSU Sylvani. Tapi dokter umum di IGD kembali menyatakan bahwa bayi sudah meninggal.

Kuasa hukum Risma Situmorang menilai RSU Sylvani telah gagal memberikan layanan kesehatan yang adil.

“Kami menduga ada diskriminasi layanan antara pasien BPJS dan pasien berbayar. Ini jelas pelanggaran serius,” tegas Risma.

Ia menambahkan bahwa kliennya berkali-kali ditolak untuk dirawat karena hanya mengandalkan BPJS. Ketika menolak kamar isolasi, pihak rumah sakit justru mengarahkan pasien ke ruang VIP dengan biaya sendiri.

“Ini harus kami laporkan ke Menteri Kesehatan, DPR, dan Komisi IX. Tidak boleh ada diskriminasi pelayanan terhadap pasien BPJS,” tegasnya.

Pihak penggugat mendorong agar pemerintah melalui Kementerian Kesehatan melakukan investigasi terbuka. Mereka berharap, kejadian serupa tak terulang kepada ibu dan anak lainnya di Indonesia.

“Kami hadir untuk menyampaikan kebenaran dan memperjuangkan keadilan atas tragedi kemanusiaan ini. Ini bukan semata soal malpraktik, ini tentang nyawa yang tak dihargai,” kata Risma dengan tegas.

Sidang selanjutnya dijadwalkan berlangsung pada 12 Juni 2025 dengan agenda pemanggilan ulang para tergugat.(han)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE