TAPSEL (Waspada): Bupati Tapanuli Selatan periode 2010-2015 dan 2016-2021, H. Syahrul M. Pasaribu SH, bersama dua Kementerian Kabinet Indonesia Maju menjadi pembicara seminar nasional Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Dua Kementerian itu adalah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT &T)

Seminar nasional bertema ‘Grand Desain Desa Berkelanjutan Untuk Indonesia Berdaulat Tahun 2045’ itu diselenggarakan oleh Bidang Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Desa PB HMI di D’Hotel Jakarta, Senin (7/11/2022).
Ketua Umum PB HMI Raihan Ariatama dan Ketua Panitia Seminar Nasky Putra Tanjung mengatakan, Syahrul dua periode Bupati Tapsel relatif berhasil membangun desa walaupun belum sempurna secara keseluruhan. Di awal kepemimpinannya, keadaan desa di Tapsel cukup memperihatinkan. Sehingga pengalaman empiris itu patut didiskusikan di tingkat nasional.
Pada seminar yang didesain menjadi Bincang Nasional ini, PB HMI meminta Syahrul yang juga Penasehat KAHMI Sumatera Utara untuk menggambarkan tentang ‘Pengalaman Empiris Selama Dua Periode Bupati Tapanuli Selatan Dalam Membangun Desa’.
Di hadapan pengurus PB HMI, para Direktur dan pejabat fungsional Kementerian, Syahrul Pasaribu mengawali pembahasan tentang Undang Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa dan dimulainya pengalokasian Dana Desa melalui APBN.
“Dana Desa dialokasikan sejak 2015 sampai sekarang. Dari perspektif itu, kita patut berterimakasih kepada pemerintah. Saya tidak tahu APBN 2023 mendatang, tapi terakhir itu Dana Desa yang dialokasian secara nasional sekitar Rp70 triliun untuk 74.000 lebih desa di Indonesia,” katanya.
Kemudian Syahrul membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang memiliki dua sumber pendanaan utama. Yakni Dana Desa (DD) dari APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD Kabupaten/Kota,.
Penggunaannya dirumuskan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang pesertanya terdiri dari Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda da tokoh perempuan.
DD untuk seluruh desa di kabupaten/kota sudah teralokasi sesuai parameter yang telah ditentukan. Misalnya untuk desa tertentu di kabupaten/kota tertentu dengan parameter tertentu.
ADD kebijakannya berada di kabupaten/ kota dengan mempedomani Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri terkait. Ada rumusan dan peraturan pemerintah tentang itu, antara lain ADD itu 10 persen bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diterima kabupaten/kota dari pemerintah atasan.
Termasuk sumber ADD itu dapat juga dialokasikan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor pajak/retribusi daerah. Maka, bagi kabupaten/kota yang memperoleh DAU dan dana perimbangan serta PAD yang besar, ada potensi jumlah ADD desanya lebih besar daripada DD.
“Karena faktor jumlah ADD yang besar itulah makanya APBDes suatu desa terkadang bisa mencapai Rp2 milar atau lebih. Hal ini yang terkadang tidak difahami oleh banyak orang,” jelas Syahrul.
Berikutnya, DD dan ADD secara tegas sudah ada alokasi penggunaannya. Contoh, DD tidak boleh menggaji perangkat desa, maka diambillah dari ADD. Kenapa demikian, karena DD itu ditujuannya untuk peningkatan kualitas hidup, peningkatan kesejahteraan (IPM) dan penanggulangan kemiskinanan. Untuk penghasilan tetap (Siltap) itu diambil dari ADD.
Selain dari DD dan ADD, sumber keuangan APBDes adalah dari kekayaan desa. Jika semua itu dikelola dengan baik, maka kemandirian desa bisa cepat terwujud, kesejahteraan atau IPM meningkat signifikan dan kemiskinan segera dapat terkurangi.
Namun ada hal yang menjadi persoalan, yaitu regulasi yang diberlakukan relatif sama antara DD pada desa di daerah tertinggal dan daerah maju. Seperti saat ini, penggunaan 40 persen DD untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan 20 persen untuk Ketahanan Pangan.
Bagi desa di kabupaten/kota yang sudah maju dan apalagi memperoleh DAU atau Dana Perimbangan yang besar dari pemerintah atasan, tentu pengalokasian minimal 40 persen DD untuk BLT itu kurang tepat.
Mungkin lebih cocok didorong berdirinya Bumdes yang dana awalnya dapat diambil dari Dana Desa. Sedangkan bagi desa yang infrastrukturnya masih sulit apalagi di daerah terpencil, pendekatan atau ketentuannya harus dibedakan.
Sementara bagi desa-desa pedalaman ataupun terpencil di kabupaten/kota yang DAU dan Dana Perimbangannya kecil, tentu syarat minimal 40 persen APBDes untuk BLT dan 20 persen untuk Ketahanan Pangan itu sangat tidak maksimal, apalagi masyarakat miskinnya masih banyak.
Sebelum pengalokasian 40 dan 20 persen itu diterbitkan oleh pemerintah pusat, Dana Desa inilah yang menjadi tumpuan utama dalam membangun infrastruktur desa. Ini kebanyakan terjadi di daerah-daerah luar Pulau Jawa.
“Barangkali ke depannya ini yang perlu dikaji ulang pemerintah pusat. Saya tidak tahu apakah ini kebijakan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Desa. Tetapi mohonlah agar tidak lagi disamaratakan ke seluruh desa di Indonesia,” pinta Syahrul.

Kemudian Ketua Penasehat KAHMI Tapsel ini bercerita tentang pengalaman empirisnya dua periode memimpin Tapsel. Dimana dua tahun berturut-turut meraih predikat sebagai pengelola Dana Desa Terbaik di Sumatera Utara. Karena serapan DD tidak pernah di bawah 98 persen.
“Bukan itu saja yang perlu, pertanggung jawaban juga sangat penting. Beberapa kali saya meminta BPK untuk membimbing para Kepala Desa tentang tata cara pertanggung jawaban keuangan yang akuntabel. Sehingga Kepala Desa lebih berhati-hati,” kenangnya.
Diceritakannya juga tentang Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tapsel yang sejak tahun 2014 sampai 2020 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI.
Raihan tujuh kali WTP berturut-turut itu diapresiasi pemerintah pusat dengan memberikan Dana Insentif Daerah (DID) yang juga tujuh kali berturut-turut. Bahkan tahun 2017 sebesar Rp50 M lebih mendapatkan Anugerah Dana Rakca atas opini WTP LKPD dan Pengelolaan Keuangan Daerah tahun 2015. Tahun 2020 juga memperoleh Dana Rakca sebesar Rp52 M lebih atas opini WTP tahun 2018.
Menurut Syahrul, kepala daerah tidak boleh passif atau melepas semua kebijakan penggunaan Dana Desa ke Kepala Desa. Harus ada pengawasan, pembimbingan dan pembinaan.
Kepala daerah tidak boleh mengintervensi penggunaan Dana Desa, karena semua program harus dibicarakan dalam forum Musrenbang desa.
Saat memimpinan di Tapsel, Syahrul minimum tiga atau empat bulan sekali mengadakan pertemuan dengan seluruh kepala desa. Baik itu berkumpul di satu tempat atapun lewat program turun ke desa (Turdes).
Bagi kepala daerah yang ingin percepatan pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, pada DD dan ADD terdapat banyak faktor yang mendukung itu. Kepala daerah tinggal mensinergikannya dengan program yang didanai APBD.
Kemudian kepala daerah harus rajin melakukan komunikasi dengan pemerintah atasan, khususnya terkait program pembangunan desa dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat desa.
Seperti dilakukan Syahrul saat memimpin Tapsel. Ada 20 Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga mikro Hydro (PLTMH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat dari pemerintah atasan untuk memenuhi kebutuhan dasar listrik rakyat di daerah terpencil.
Pembangunannya dimulai sejak 2013 dan dinikmati lebih 12.000 orang di 2.500 lebih rumah tangga yang tersebar di 16 desa dan dua kelurahan pada delapan kecamatan. Bahkan di Kecamatan Aek Bilah sekitar 40 persen warga menikmati energi listrik dari PLTMH, bukan dari PLN.
Tidak mungkin hanya mengharapkan jaringan PLN ke sana. Karena pemukiman itu berada di balik sejumlah bukit, lembah dan sungai. Jika dibiarkan, warga akan selamanya tidak terpenuhi kebutuhan dasar listriknya.
“Diperjuangkanlah itu dengan pembangunan PLTMH dan PLTS Terpusat. Kebutuhan dasar rakyat akan listrik terpenuhi. Kawasan sekitar semakin lestari, karena PLTMH nyawanya adalah air, dan air hanya bisa diperoleh secara terus-menerus dari lingkungan yang lestari,” jelas Syahrul.
Hubungannya ke pemerintah desa dan stakholder desa, pembangunan PLTMH dan PLTS ini menjadi embrio lahirnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Ada iuran pemeliharaan yang tidak habis, dan itu dikelola BUMDes untuk usaha yang produktif.
Lebih lanjut Syahrul mengutarakan beberapa kendala percepatan pembangunan desa. Antara lain kompetensi Kepala Desa yang perlu ditingkatkan melalui berbagai program seperti capacity building atau peningkatan kemampuan dan keterampilan.
Berikutnya adalah seringnya regulasi berobah-obah, sehingga dalam menjalankan program yang dibiayai Dana Desa berpotensi terjadi kelambatan. Demikian juga dalam rekrutmen pendamping desa atau pendamping lokal desa hendaknya disempurnakan.
Personilnya harus yang punya pengetahuan mumpuni. Mengutamakan masyarakat daerah setempat atau kecamatan maupun kabupaten/kota yang memperoleh Dana Desa.
Pada seminar ini, Kementerian Desa diwakili Koordinator Fasiitasi Pendampingan Desa se Indonesia Ir. Suhandani MM, membawakan materi berjudul “Perencanaan Pembangunan Dalam Rangka Meningkatkan IDM Indeks Desa Membangun (IDM)’.
Sementara Drs.Mateos Than, M.Si. Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri membawakan materi dengan judul ‘Peran Pembinaan dan Peningkatan System Pemerintahan Desa’.
Di akhir acara, Syahrul Pasaribu menyerahkan buku Kaleidoskop Dua Periode Kepemimpinan Bupati Tapsel kepada Ketua Umum PB HMI Raihan Ariatama. (a05)