MADINA (Waspada): Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Mandailing Natal (Madina) secara tegas menyatakan penolakannya terhadap Pasal 103 Ayat 4 poin e dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi di sekolah-sekolah.
Pernyataan sikap ini merupakan hasil dari Mudzakarah yang diselenggarakan oleh Komisi Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan MUI Madina di aula Kantor MUI Kabupaten Mandailing Natal, Sabtu, (24/08).
Mudzakarah ini dihadiri oleh 50 peserta, yang terdiri dari Kepala Madrasah Negeri, Pimpinan Pondok Pesantren, dan Pengurus MUI Kecamatan se-Kabupaten Mandailing Natal. Para narasumber yang hadir dalam acara tersebut melalui zoom antara lain Drs. Sahnan Pasaribu, MM sebagai Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal, dr. Abdul Aziz Siregar sebagai dokter umum, serta hadir langsung di aula kantor MUI MADINA yaitu H. Fahrur Rozy, S.H, MH sebagai Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI Madina, dan H. Muhammad Nasir, Lc, S.Pd.I sebagai Ketua MUI Madina.
Acara Mudzakarah ini dibuka secara resmi oleh Plt. Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Mandailing Natal yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Madina, H. Armen Rahmat Hasibuan, M.I.Kom.
Dalam sambutannya, H. Armen menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan tokoh agama dalam menyusun kebijakan yang berdampak langsung pada pendidikan dan moral generasi muda. Ia juga menyampaikan harapannya agar Mudzakarah ini dapat menjadi forum yang produktif dalam menghasilkan rekomendasi yang berlandaskan pada nilai-nilai agama dan kearifan lokal, yang selama ini menjadi fondasi kuat masyarakat Mandailing Natal.
Selanjutnya, Ketua Panitia Mudzakarah, H. Ikhwan Siddiqi, S.Ag, MA, yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan MUI Madina, menyatakan bahwa kegiatan ini diselenggarakan untuk menanggapi kekhawatiran yang berkembang di masyarakat terkait pasal tersebut.
“Kami melihat bahwa pengadaan dan penyediaan alat kontrasepsi di sekolah, madrasah, dan pondok pesantren bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi di kalangan remaja” tegasnya.
Menurut H. Ikhwan, kebijakan ini bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang dipegang teguh oleh masyarakat Mandailing Natal. Ia menekankan bahwa pendidikan seks dan kesehatan reproduksi harus disampaikan dengan pendekatan yang sesuai dengan norma agama dan budaya setempat, bukan dengan memberikan akses langsung terhadap alat kontrasepsi kepada siswa.
Kemudian Drs. Sahnan Pasaribu, MM, Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal, dalam paparannya juga menyatakan bahwa pengadaan alat kontrasepsi di sekolah-sekolah merupakan langkah yang tidak tepat dan bisa memicu kontroversi di masyarakat.
“Pendidikan mengenai kesehatan reproduksi seharusnya disampaikan dengan cara yang lebih edukatif dan moralistik, bukan dengan memberikan alat kontrasepsi yang justru bisa disalahgunakan oleh siswa” ujarnya.
Sementara itu, dr. Abdul Aziz Siregar sebagai praktisi kesehatan menambahkan bahwa penyediaan alat kontrasepsi tanpa pendampingan yang memadai bisa berdampak negatif pada perkembangan psikologis remaja.
“Penggunaan alat kontrasepsi harus berada dalam konteks yang tepat dan dipahami dengan benar oleh para remaja, bukan sekadar diberikan begitu saja” jelasnya.
Terakhir Ketua MUI Madina, H. Muhammad Nasir, Lc, S.Pd.I, dalam pernyataan sikapnya menyampaikan bahwa MUI Madina dengan tegas menolak penyediaan dan pengadaan alat kontrasepsi di sekolah-sekolah, madrasah, dan pondok pesantren.
“Kami meminta pemerintah untuk segera menghapus Pasal 103 Ayat 4 poin e dari PP No. 28 Tahun 2024 karena bertentangan dengan prinsip pendidikan yang berbasis moral dan agama” pungkas Nasir. (cah)












