PERISTIWA banjir bandang yang melanda Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, pada 22 Desember 2006 silam, masih menyimpan kenangan pahit dan pengalaman traumatis bagi masyarakat di daerah ini.
Peristiwa bencana alam terbesar sepanjang sejarah yang terjadi menjelang akhir tahun, tepatnya 19 tahun yang silam ini menelan sejumlah korban jiwa dan meluluh lantakan rumah warga di dua desa dan tiga kelurahan.
Bencana ini masih menyimpan trauma bagi masyarakat, apalagi menjelang memasuki bulan Desember 2025, curah hujan di daerah ini relatif tinggi. Intensitas curah hujan yang tinggi membuat warga khawatir terjadi banjir.
Kekhawatiran warga tentu sangat beralasan mengingat curah hujan tinggi dan kondisi kerusakan hutan di hulu sungai saat ini cukup parah. Sikap eksploitatif manusia terhadap alam dipastikan akan membawa dampak buruk bagi lingkungan secara luas.
Kerusakan ekosistem hutan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia serakah berpotensi mengundang malapetaka bagi lingkungan, tidak hanya banjir, tapi juga global warming, bahkan bencana kekeringan pada musim kemarau.
Kondisi kerusakan ekologis di kawasan hutan hujan tropis dataran rendah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Langkat, menjadi potret nyata telah terjadi deforestasi hutan akibat aksi illegal logging dan perambahan hutan.
Ribuan hektare kawasan hutan hujan tropis dataran rendah terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire ini sudah terdegradasi. Kawasan hutan yang harusnya menjaga keseimbangan alam dialihfungsikan menjadi areal kebun.

Sapto Edy Prabowo, mantan Kabid BPTN Wilayah III BBTNGL yang kini menjabat sebagai Direktur Konservasi Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan pernah mengatakan kepada Waspada, kawasan TNGL adalah hulu dari 11 DAS di wilayah Sumut dan Aceh yang menyangkut hajad hidup jutaan manusia.
Menurutnya, peristiwa banjir bandang yang pernah terjadi di wilayah Besitang tahun 2006 dan banjir bandang di Kec. Bahorok beberapa waktu lalu merupakan dampak nyata akibat dari kerusakan DAS (daerah aliran sungai).
Peristiwa banjir bandang yang terjadi masa itu, tidak hanya menimbulkan dampak kerugian material yang cukup besar bagi masyarakat, tapi sejumlah nyawa manusia juga melayang akibat tersapu arus air deras dari hulu sungai.
Pasca peristiwa bencana alam banjir bandang pada tahun 2006 lalu, kondisi aliran Sungai Besitang saat ini mengalami pendangkalan cukup parah akibat sedimentasi material tanah yang terbawa arus air dari hulu sungai.
Saat musim penghujan, air sungai kerab menerpa permukiman warga. Luapan air sungai juga dipicu banyaknya paluh di daerah hilir sungai yang dibendung pengusaha untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Ironisnya, praktik konversi ini berlangsung mulus.
Wilayah Kec. Besitang yang akhir-akhir ini sangat rentan diterjang luapan air sungai, yakni Desa Sekoci, Desa Bukit Mas, termasuk sebagian wilayah Kel. Kampung Lama dan Kel. Bukit Kubu. Nyaris setiap tahunnya daerah ini terendam banjir.
Kerusakan DAS akibat aksi illegal logging dan perambahan hutan yang sudah berlangsung lama ini menuai sorotan dari kalangan environmentalis, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga sorotan dari dunia internasional.
UNESCO pada tahun 2011 lalu memasukan TNGL sebagai daftar warisan dunia yang berbahaya. Lembaga ini pernah memberi ultimatum, jika hasil penilaian ternyata pemerintah tak konsisten menjaga kelestarian hutan, maka status World Haritage akan dicabut.
Aksi penindakkan secara tegas terhadap aksi penguasaan hutan secara ilegal baru kelihatan setelah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang dibentuk Presiden RI Prabowo Subianto, turun menyikat kebun kelapa sawit dan rambung yang berada di dalam kawasan hutan TNGL.
Petugas memusnahkan tanaman dengan menggunakan alat berat excavator, chainsaw, termasuk dengan menggunakan racun. Akan tetapi, penindakan terhadap pelaku konversi hutan di TNGL masih sebagian kecil dan belum menyentuh keseluruhan.
Camat Besitang, Restra Yudha, dihubungi Waspada.id, Selasa (25/11), tidak menjawab secara lugas terkait imbauannya kepada warga menghadapi curah hujan tinggi yang dapat berpotensi menyebabkan banjir.
Restra mengaku, ia sudah membuat surat permohonan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk penanaman 3.000 pohon di beberapa titik DAS untuk mencegah longsor.
Ditanya apakah rencana penanaman pohon ini tidak terlambat mengingat kondisi kerusakan DAS sudah cukup parah, camat menegaskan ia baru sepekan bertugas di Besitang. “Saya baru masuk. Kita baru memulai,” ujarnya.
Secara terpisah, Kades Sekoci, Gunawan, kepada Waspada.id menyatakan pihaknya sedang melakukan pertemuan internal dengan Kadus dan para pihak untuk mengantisipasi peristiwa banjir mengingat desa ini kerab dilanda banjir.
Ia mengimbau kepada warganya agar jangan tidur terlalu nyenyak mengingat curah hujan yang tinggi. Kades menambahkan, Taruna Siaga Bencana ((Tagana) dan Karang Taruna juga sudah stand by menjaga kemungkinan yang tak diinginkan.
Sebagai langkah antisipasi, Kades Sekoci telah menyiapkan sarana, berupa empat unit boat buat membantu evakuasi jika terjadi banjir. Selain itu, pihaknya membagikan 400 pelampung (life jacket) kepada warga, menyiapkan tenda, tabung oksigen, dan juga logistik sembako juga telah dipersiapkan.
Potensi terulangnya peritiwa banjir bandang seperti yang terjadi pada tahun 2006 silam di Besitang, termasuk di Aceh Tamiang sangat memungkinkan mengingat intensitas curah tinggi dan laju kerusakan hutan di kawasan hulu hutan TNGL sudah parah. tinggi. Asrirrais/WASPADA.id












