MEDAN (Waspada): Terbitnya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melawan KPU RI dengan nomor perkara 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, telah menuai kontroversi, polemik dan kecurigaan baik kepada institusi peradilan dan penyelenggara pemilu.
“Wajar jika semua kalangan mengkritisi terbitnya putusan tersebut. Salah satu amar putusannya menghukum KPU RI sebagai tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu Tahun 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari,” kata Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, Rabu (8/3)
Menurutnya, konsekuensi putusan tersebut dapat berimbas pada penundaan Pemilu 2024 yang dinilai bertentangan dengan Konstitusi dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta melebihi batas kewenangan mengadili.
“Putusan tersebut memang penuh kejanggalan, sebab itu memang tidak lazim. Terlepas dari pertimbangan-substansinya, dari sisi hukum gugatan-putusan tersebut sesuai dengan prosedur hukum. Setiap warga negara atau badan hukum mempunyai hak mengoreksi kebijakan negara atau perangkat negara,” ujarnya.
Dikatakan, mekanisme koreksi kebijakan dan pemulihan kerugian akibat perbuatan melawan hukum adalah melalui lembaga peradilan perdata. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa.
“Masalahnya adalah apakah benar pada proses pembuktian perkara 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, pihak KPU RI dalam rangkaian sidang tak menghadirkan satu pun saksi? Apakah hal itu cerminan ketidakseriusan KPU RI menghadapi gugatan perdata yang secara materi cukup berbahaya itu? Apalagi majelis hakim mengabulkan semua gugatan itu karena dalam salah satu pertimbangannya, dalil-dalil yang diajukan Partai Prima disebut tidak dapat dibantah KPU,” ujarnya.
Ia melanjutkan, dalam bagian pertimbangan berbunyi, “Menurut majelis, para penggugat sudah dapat membuktikan seluruh dalil-dalil tindakannya sedangkan tergugat tidak dapat mempertahankan dalil-dalil bantahannya, maka gugatan penggugat dapatlah dikabulkan seluruhnya.”
Di sisi lain, KPU RI hanya memberi kuasa kepada 43 komisioner dan staf KPU RI untuk bicara dalam persidangan. KPU tidak mengirim dan menggunakan jasa advokat/pengacara. Bahkan sepekan sudah putusan dibacakan KPU RI belum juga menyatakan banding atas putusan tersebut.
“Apakah KPU secara sistematis sengaja abai atas gugatan tersebut? Sebagai negara hukum dan demokrasi, tentu jika ada pihak yang tak setuju dengan putusan tersebut dapat menempuh jalur sesuai prosedur. Semua pihak tidak mengintervensi putusan hakim maupun pengadilan. Tatanan hukum tidak boleh dirusak, tetapi hormati putusan hakim,” sebutnya.
Tetapi, hakim patut diingatkan ketika memutus perkara harus meletakkan telinganya di jantung publik. Hakim harus disiplin dan profesional. Hakim tak boleh mengabaikan keadilan publik.
“Memutus perkara memang hak mutlak dan independensi hakim, tapi seharusnya tidak membuat hakim buta terhadap rasa keadilan.
Bagaimana pun, hakim juga harus mewakili suara rakyat yang unrepresented dan under-represented (yang diam, yang tidak terwakili, yang tidak terdengar). Hakim tidak boleh abai akan realitas. Isu penundaan Pemilu adalah sesuatu yang sangat sensitif. Jangan biarkan seolah hukum membajak demokrasi,” pungkasnya. (m32).
Waspada/ist
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi