SIGLI (Waspada): Sejumlah tokoh masyarakat, Kecamatan Tangse, dan Keumala, Kabupaten Pidie menduga kawanan gajah liar yang telah membunuh dua warga di daerah itu adalah kawanan gajah jinak yang dilepasliarkan.
Pasalnya, diantara puluhan gajah liar tersebut warga menemukan ada terpasang Global Positioning System (GPS). Begitupun diantara gajah-gajah liar memiliki nama, diantaranya Gajah Bernama Ayu dan sebagainya.
“Kalau gajah-gajah itu satwa liar, bukan yang dipelihara mana mungkin ada namanya,” demikian Keuchik Gampong Blang Malo, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie Bob Rizal, mengungkapkan pada acara rapat solusi penanganan konflik gajah dengan warga yang digelar di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie, Rabu (1/3).
Rapat yang dipimpin Ketua DPRK Pidie Mahfuddin Ismail, turut mengundang Pj Bupati Pidie, Kadis Pertanian dan Pangan Kabupaten Pidie, Kepala DLH Aceh, Kepala BKSDA Aceh, Ketua Flora dan Fauna Internasional, Pimpinan CRU Aceh dan CRU8 Mila, para ketua Fraksi di DPRK Pidie, para camat, para imum mukim dalam Kecamatan Tangse, para keuchik dalam Kemukiman Beungga serta pemerhati lingkungan hidup di Kabupaten Pidie.
Bob Rizal mengungkapkan ada beberapa ciri keberadaan gajah jinak yang dilepas dan bergabung dengan kawanan gajah liar. Kata dia, kawanan gajah jinak saat sama-sama turun ke pemukiman warga, mereka berjalan atau bermain sekitar rumah-rumah warga.
Begitupun kawanan gajah jinak tersebut suka datang ke areal persawahan yang banyak tumbuh tanaman padi, hal itu karena gajah jinak ini sudah terbiasa dengan manusia .” Ini bisa diperhatikan, berbeda dengan gajah jinak. Gajah liar saat turun mereka berdiri jauh,” katanya.
Bob Rizal menilai selama ini pemerintah maupun lembaga -lembaga yang peduli dan konsern terhadap satwa liar di Aceh, terutama BKSDA tidak serius dalam penanganan konflik satwa liar dengan manusia terutama gajah liar, hanya sebatas melakukan penggiringan setelah ada korban jiwa dari masyarakat.
Tokoh masyarakat Mane dan Geumpang, Muhammad Nasir alias Abu Cek Ninja menyampaikan persoalan konflik gajah dengan manusia di daerah itu berawal dari FFI membuat acara Gajah Sirkus di Geumpang sekira tahun 2099.
Sebelumnya konflik gajah dengan manusia belum pernah terjadi. Ia pun bersyukur DPRK Pidie dapat memfasilitasi kegiatan rapat tersebut, sehingga ia bersama dengan tokoh masyarakat lain yang senasib diteror kawann gajah liar bisa menyampaikan unek-uneknya agar persoalan itu bisa terselesaikan.
Menurut dia, sejak saat itu konflik gajah terus terjadi, dia mencatat pada tahun 2016, terjadi 44 kasus konflik gajah dengan manusia di kawasan Mane dan Geumpang, tahun 2017 terjadi 107 kasus, 2018 terjaadi 73 kasus, 2019 terjadi 107, 202 terjadi sebanyak 130 kasus.
Kata dia, pada rapat sosialisasi tumbuhan dan satwa liar dilindungi di Aula kantor Camat Mane, beberapa waktu lalu dia menilai sudah terjadi penjajahan ekonomi yang menurutnya disusun secara massif dan terstruktur. “Khusus penjajahan ekonomi yang disusun sedemikian rupa dikarenakan di situ pernah disampaikan oleh para pihak. Di mana dalam rapat itu disampaikan materi-materi, mereka lebih mementingkan investor yang membuang modal untuk melindungi satwa liar daripada melindungi masyarakat. Ini suatu hal di luar dugaan kami masyarakat,” katanya. (b06)












