REDELONG (Waspada.id): Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues menjadi tiga daerah yang paling tertekan saat ini.
Menurut Roman, salah satu warga Gayo kepada Waspada.id melalui whatsApp, Rabu (10/12), sampai hari ini, akses darat ke daerah dataran tinggi Gayo masih tertutup, sementara akses udara mahal dan sulit dijangkau.
Akibatnya, masyarakat mengalami kepanikan. Semua kota, kecamatan, dan desa terputus akses, membuat mereka kebingungan melanjutkan kehidupan. Anak-anak dan ibu-ibu bahkan berada di ambang kelaparan.
Sejak awal terjadinya longsor dan banjir bandang, masyarakat tak bisa beraktivitas bebas. BBM dan bahan makanan habis, dan tak ada cara keluar dari daerah.

“Kami hanya diberi beras beberapa bagian per KK, itu pun dua minggu setelah bencana,” ujar Elvi, warga Pondok Baru, Bener Meriah, seperti dikutip Roman.
Roman mengungkapkan bahwa lebih dari 15 hari mereka hidup dalam gelap gulita saat malam hari karena arus listrik sama sekali mati.
“Adapun kemarin sempat hidup dua hari lalu saat Pak Prabowo ke Bireuen, tapi kemudian mati lagi. Jadi apa yang dikatakan Pak Bahlil bohong, pak,” ujarnya sembari menambahkan banyak tiang listrik yang tumbang hingga kini belum tersentuh perbaikannya.
Menurut Roman, harga BBM semula sempat Rp80 ribu/liternya kini menurun jadi Rp40 ribu per liternya di tingkat pengecer. “Untuk gas elpiji memang sudah kosong, demikian juga beras, tapi yang sangat menyakitkan beras di Bandara Rembele belum dibagikan kepada kami pak, kami sudah 15 hari terisolasi, baru seminggu yang lalu menerima beras, itupun seberat 0,8 sampai 1 Kg per kepala keluarga, hanya itu sekali aja pak,” bebernya.
Roman mengaku heran ada setiap hari pesawat yang mendarat di Bandara Rembele, tapi beras tidak ada yang dibagi bahkan yang dijual. “Logikanya kalau di sini ada beras kami tidak akan rela berjalan 2 sampai 3 jam ke kota perbatasan Aceh Utara,” sebut Roman.

Di sisi lain, Ana, warga Takengon, mengaku pasrah dan sedih melihat kota ibukota Aceh Tengah hancur oleh serangan kayu gelondong dari bukit. “Kami tidak tahu kayu ini dari mana, tiba-tiba menghancurkan kota ini,” katanya.
Kesulitan akses juga membuat warga harus berjalan puluhan kilometer dari Bener Meriah ke Lhokseumawe hanya untuk mendapatkan beras dan sembako – jalur ini dianggap lebih dekat dibandingkan ke Bireuen yang jaraknya lebih dari 100 km.
Petani juga merasakan dampaknya. “Kami bingung hasil panen mau dibawa kemana,” kata Roman lagi yang juga petani kopi Gayo. Kopi dan tanaman sayuran seperti kentang, kol, cabai yang sudah matang bakal mengendap di gudang karena tak ada pengiriman.
“Warga berharap akses ke dataran tinggi Gayo segera diperbaiki. Kalau tidak, masa depan dan generasi kami akan terancam. Belum lagi trauma akibat musibah ini,” ungkap warga. Semua berharap akses bisa segera normal agar kehidupan dan aktivitas bisa berjalan kembali.(id03)











