SIGLI (Waspada): Sebagai umat Islam, awalnya warga Aceh, khususnya masyarakat Pidie prihatin dengan nasib warga Rohingya yang mengaku ditindas dan diperkusi di negara asalnya, Myanmar.
Berbagai carapun dilakukan warga Aceh untuk membantu warga Muslim Rohingya, bahkan saat-saat pertama Rohingya datang di pesisir pantai dengan kapal kayu, warga Aceh rela bernegosiasi dengan aparat keamanan TNI/Polri dan pemerintah daerah, agar saudara seimanya etnis Rohingya dapat diterima dan ditampung di barak penampungan walau sementara waktu.
Seiring waktu gelombang warga Rohingya terus berdatangan dengan jumlah besar berdalih terdampar di sejumlah daerah pesisir pantai Aceh, termasuk di pesisir pantai Kabupaten Pidie. Warga pun masih mau menerima mereka.
Namun setelah tahu kedatangan mereka bergelombang dengan jumlah sangat banyak ditambah kelakuan mereka tidak sesuai dengan karakter umumnya warga Aceh, kini rasa simpati warga Aceh pun terhadap etnis Rohinya mulai hilang karena kelakuan mereka yang tidak sesuai dengan warga Aceh yang menjujung tinggi syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Belum lagi, badan PBB untuk urusan pengungsi UNHCR yang menangani etnis Rohingya di Aceh, dinilai tidak menghormati dan menghargai penduduk lokal setempat. Menurut warga, UNHCR bersama IOM dan beberapa lembaga mitranya terkesan pongah dan tidak menghormati warga lokal, di mana lokasi ditempatkan pendatang ilegal Rohingya tersebut.
Misalkan warga lokal yang memasak makanan dan menjaga pengungsi Rohingya saat pertama tiba tidak diberikan biaya apapun, padahal warga tersebut rela menghabiskan waktunya untuk membantu tugas UNHCR/IOM.
“Kami ini kan nelayan, dengan penghasil yang tidak menentu. Maunya, kami yang sudah membuang waktu membantu mereka memasak bisa kan diberi upah. Tetapi itu tidak dilakukan, mereka hanya memperdulikan warga Rohingya” kata beberapa warga nelayan di Bate, Kabupaten Pidie, yang namanya enggan disebutkan, Selasa (19/12).
Belum lagi perangai pendatang ilegal Rohingya itu sangat tidak baik. Mereka, kata warga, “keras kepala” tidak bisa diatur, membuang sampah sembarangan bahkan membuang air besar (BAB) di dalam tambak udang warga, dan ada juga membuang hajatnya di tempat umum serta sampah sembarangan.
Sementara pihak UNHCR/IOM bersama lembaga mitranya tidak memperhatikan keluhan warga lokal yang sudah berulang kali mengingatkannya.
Sekarang, fenomema kedatangan gelombang pendatang ilegal Rohingya yang terus mendarat di Aceh telah mendapat penolakan dari warga karena dinilai tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku di daerah berjuluk Tanah Rencong.
Seperti yang dilakukan warga pesisir Simpang Tiga, Kabupaten Pidie dan sekitarnya. Warga yang berdomisili di pesisir pantai Mantak Tari dan sekitarnya sudah beberapa malam terakhir ini melakukan penjagaan di sepanjang pesisir pantai untuk menghalau mendaratnya kapal kayu yang membawa warga etnis Rohingya dari Bangladesh.
Berdasarkan cerita nelayan setempat, terdapat lima kapal kayu yang mengangkut rombongan Rohingya dari Bangladesh di tengah perairan laut Pidie. Mereka sedang berupaya mendarat, namun kapal kayu itu, dihalau kembali oleh beberapa nelayan lokal yang sedang mencari ikan di tengah laut.
Usman, 35, salah seorang nelayan megatakan, kapal kayu pengangkut rombongan Rohingya, itu tidak mau menjauh dari perairan Pidie, meski kapal mereka di dorong ke tengah laut dengan jarak 2 mil. Kapal kayu itu kembali mendekat setelah melihat perahu nelayan lokal telah mendarat. “Mereka itu sangat keras kepala, meski sudah kita usir tetapi mereka mendekat lagi. Karena itu kami sangat berharap, kepada pemerintah supaya tidak kompromi dengan mereka termasuk dengan pihak yang menangani mereka seperti UNHCR dan IOM,” tandas Usman (b06)