MEDAN (Waspada): Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia dari 11% menjadi 12%, yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025, merupakan kebijakan strategis yang diamanatkan oleh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pengamat Ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Wahyu Ario Pratomo menyebutkan, kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Peningkatan tarif PPN ini diharapkan dapat menambah penerimaan negara hingga Rp75,29 triliun pada tahun 2025, yang akan digunakan untuk mendanai program pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan infrastruktur.
“Namun demikian, kenaikan pajak apapun jenisnya, baik PPN maupun Pajak Penghasilan (PPh) selalu tidak disenangi oleh masyarakat, sebab memberikan dampak terhadap daya beli masyarakat,” ujar Wahyu, Minggu (22/12).
Menurutnya, latar belakang kenaikan tarif PPN ini tidak terlepas dari kebutuhan memperkuat kapasitas fiskal negara. PPN dinaikkan dengan tujuan utamanya adalah meningkatkan penerimaan negara secara luas, terutama di negara dengan tax ratio yang rendah.
Dalam perspektif global, jelas Wahyu Ario, tax ratio Indonesia yang pada tahun 2023 mencapai 10,21% masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Sebagai perbandingan, Malaysia mencatat tax ratio sebesar 11,4%, Singapura 12,8%, Thailand 16,3%, dan negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat masing-masing memiliki tax ratio sekitar 30% dan 27%.
Namun, dampak regresifnya PPN harus diminimalkan melalui pengecualian untuk barang-barang kebutuhan pokok dan subsidi atau bantuan sosial untuk kelompok berpenghasilan rendah.
Langkah ini sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan tetap memberikan pembebasan PPN untuk barang dan jasa esensial seperti beras, pendidikan, dan kesehatan. Pemerintah memperkirakan dampak inflasi dari kenaikan ini hanya sebesar 0,2%, dengan target inflasi dijaga pada kisaran 1,5%-3,5%.
Wahyu Ario menilai, dalam konteks untuk tujuan pemerataan pendapatan, Pajak Penghasilan (PPh) lebih tepat untuk dinaikkan dibandingkan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Alasannya terletak pada sifat PPh yang lebih progresif dan langsung menargetkan kelompok berpenghasilan tinggi, sedangkan PPN bersifat regresif dan berdampak merata pada semua konsumen, terlepas dari tingkat pendapatan mereka.
“PPN merupakan pajak konsumsi yang diterapkan pada semua konsumen atas pembelian barang dan jasa. Meskipun PPN lebih mudah dikelola dan memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara, sifatnya yang regresif membuatnya kurang efektif untuk pemerataan pendapatan,” jelasnya.
“Konsumen dengan penghasilan rendah menghabiskan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk konsumsi dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan tinggi. Akibatnya, kenaikan PPN dapat membebani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah secara relatif lebih besar, disebabkan tarif pajaknya sama untuk semua orang,” sambungnya.
Untuk itu, Wahyu menghimbau agar pemerintah harus membuktikan bahwa kenaikan PPN ini tidak akan memberikan tekanan bagi daya beli masyarakat.
Alokasi anggaran pemerintah sebesar Rp722,6 triliun untuk pendidikan, Rp504,7 triliun untuk perlindungan sosial, dan Rp197,8 triliun untuk kesehatan pada tahun 2025 yang merupakan program prioritas pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, harus secara nyata dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
“Keberhasilan kebijakan ini tergantung pada penerapan yang tepat, komunikasi yang efektif, dan pengelolaan dana pajak secara transparan,” tegasnya.
Kritik atau penolakan masyarakat untuk membayar pajak yang lebih tinggi sering kali berkaitan dengan persepsi negatif terhadap pengelolaan dana publik, khususnya akibat maraknya kasus korupsi oleh pejabat pemerintah. Korupsi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memengaruhi kepatuhan pajak, yang pada akhirnya berdampak pada penerimaan negara dan pembangunan.
“Untuk mengatasinya, diperlukan langkah-langkah yang berfokus pada peningkatan transparansi, penegakan hukum yang tegas, serta pengelolaan pajak yang akuntabel. Jika kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan, kepatuhan pajak akan meningkat, sehingga pemerintah Indonesia dapat saja meningkatkan tax ratio seperti negara-negara lain di dunia,” pungkasnya. (m31)