Kondisi Negara Berkembang Saat Ini Lebih Baik Hadapi Exit Strategi Bank Sentral Negara Utama

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Kondisi Negara-negara berkembang saat ini memiliki posisi ekonomi dan keuangan yang lebih baik dibandingkan tahun 2013, dalam menghadapi normalisasi kebijakan moneter (exit strategy) dari bank-bank sentral negara utama.  

Demikian disampaikan Kepala Departemen Pengelolaan Devisa Bank Indonesia (BI), Rudy B. Hutabarat dalam seminar internasional sebagai side event Presidensi G20 Indonesia 2022 yang menjadi rangkaian acara Bank Indonesia. 

Seminar tersebut mengambil tema “Antisipasi Dampak Exit Strategi Terhadap Aliran Modal Emerging Market” (Anticipating the Impact of Global Central Bank Exit Strategy on Emerging Market’s Capital Flows) secara virtual, Sabtu (29/1). 

Menurutnya, diskusi kebijakan antar negara terkait exit strategy perlu dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi dari berbagai negara, khususnya dalam upaya memperkuat monitoring risiko global dan meminimalkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan. 

Rudy mengharapkan seminar ini dapat membuka wawasan terkait salah satu agenda penting G20, yakni upaya mensinkronkan divergensi kebijakan global (synchronize the unsynchronized world) dalam memastikan tercapainya tema G20 yakni ‘recover together and recover stronger.’ 

Diskusi pembahasan antisipasi kebijakan exit strategy hari ini menghadirkan Ilhyock Shim dari Bank for International Settlement (BIS), yang memaparkan tentang kekuatan ekonomi negara-negara emerging market, dan Andre de Silva dari HSBC yang memaparkan tentang pandangan pelaku pasar terhadap kesiapan negara-negara emerging market dalam menghadapi normalisasi kebijakan.

Annual Investment Forum 2022 turut mendukung Presidensi G20 Indonesia 2022 yang memiliki 6 (enam) agenda prioritas di jalur keuangan (finance track), yakni perumusan normalisasi kebijakan (exit strategy) agar tetap kondusif bagi pemulihan ekonomi dunia, perumusan respons kebijakan reformasi struktural di sektor riil untuk mengatasi luka memar (scarring effect) dari pandemi Covid-19, 

Kemudian, upaya mendorong kerja sama antar negara dalam sistem pembayaran digital, mendorong produktivitas, perluasan ekonomi, dan keuangan inklusif, serta koordinasi internasional dalam agenda perpajakan untuk mencapai sistem perpajakan internasional yang adil, berkelanjutan, dan modern. 

Berdaya Tahan 

Sebelumnya, dalam pertemuan G20 International Financial Architecture Working Group (IFAWG) yang diselenggarakan oleh Presidensi G20 Indonesia (diwakili BI dan Kementerian Keuangan) secara virtual pada 27-28 Januari 2022, disampaikan bahwa sistem keuangan internasional saat ini secara umum dipandang lebih berdaya tahan dibandingkan beberapa episode krisis global sebelumnya, di tengah peningkatan jumlah kasus Covid-19 yang berasal dari varian Omicron. 

Namun berbagai risiko terhadap sistem keuangan internasional perlu diantisipasi agar tidak menghambat proses pemulihan ekonomi dunia, demikian hasil pertemuan IFAWG yang mengemuka. IFAWG merupakan tim kerja G20 yang fokus mendiskusikan upaya untuk memperkuat ketahanan dan mendorong stabilitas sistem keuangan internasional. 

Pada pertemuan hari pertama, IFAWG membahas dinamika aliran modal beserta respons kebijakan yang diperlukan, khususnya di negara berkembang, penguatan jaring pengaman keuangan global, dan upaya memperkuat ketahanan sistem keuangan dari berbagai sumber kerentanan. 

Berbagai risiko terhadap sistem keuangan internasional termasuk potensi pengetatan kebijakan moneter akibat meningkatnya tekanan inflasi, menyempitnya ruang kebijakan, tinggi dan terus meningkatnya level utang di berbagai negara, serta peningkatan volatilitas di pasar keuangan mewarnai diskusi karena berpotensi menghambat proses pemulihan ekonomi dunia. 

“Untuk itu, negara G20 berkomitmen untuk mendorong pemulihan ekonomi global dan terus mendukung negara miskin yang menghadapi kerentanan perekonomian akibat dampak pandemi Covid-19,” imbuh Rudy. (J03)  

  • Bagikan