Setelah hampir 100 tahun, perburuan hak atas tanah tiba-tiba mencuar di Kota Galuh, Perbaungan. Ratusan warga dihantui teror kaki tangan para makelar tanah.
Gatot, 53 tahun, tampak sumringah ketika melihat Hopeng, teman sepermainan di waktu kecil, turun dari mobil Mitsubisi Pajero merah, menyapa dan menghampiri di bengkelnya. Kontak mata dua sahabat ini menyiratkan keakraban. Keduanya melempar senyum dan berjabat tangan.
Hopeng lalu mengenalkan waspada.id kepada Gatot. Ia bergegas berdiri dan mempersilahkan duduk. Hanya hitungan menit, Gatot langsung menyambar begitu cerita tanahnya digugat Amrick Shing dan kandas di PN Sei Rampah. “Padahal sejak kakek nenek, tanah ini sudah turun temurun kami tempati hampir 100 tahun,” cerita Gatot.
Kisah Gatot, bertalian dengan kisah Hopeng. Keluarga keduanya sama-sama bakal terusir dari tanah bekas pendudukan Belanda itu. Bedanya, usaha bengkel Gatot berdiri di bibir jalan lintas Sumatera, Desa Tualang, sementara Hopeng menghabiskan masa kecil di Dusun IV, Desa Kota Galuh, tak jauh di belakang rumah Gatot. Keduanya masuk Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Di dusun IV, tempat Hopeng lahir, ada sekitar 120 KK warga Tionghoa bakal bernasib serupa dengan Gatot. Hampir satu abad turun temurun mereka tinggal di situ sejak kakek moyang, belakangan datang orang menggugat ke pengadilan mengklaim tanah mereka.
Ironinya, Majelis Hakim PN Sei Rampah, lewat putusannya Nomor 8/Pdt.G/2022/PN Srh, tanggal 02 November 2022, memenangkan gugatan Nurhayati, 64 tahun, terhadap tiga objek tanah yang ditempati hampir 100 tahun oleh keluarga Hermanto Hariantono alias Tongkang, 57 tahun (tergugat I), Tjan Jok Tjing alias Acin, 51 tahun (tergugat II), dan Bunju alias Ayu Gurame, 50 tahun (tergugat III). Majelis mengabaikan semua pembelaan warga.
Bekal Nurhayati menggugat adalah Surat Penyerahan Hak tanggal 27 Juli 1979 dari Tengku Raja Gamal Telunjuk Alam kepada Nurhayati, berdasarkan Hak Grand Sultan Serdang Nomor 102 tanggal 17 Mei 1924.
Sementara pijakan warga adalah penguasaan fisik tanah hampir 100 tahun atas izin lisan Yayasan Keluarga Wakaf Darwisjah. “Ini tanah tumpah darah kami, bapak kami, dan kakek kami sejak 1923,” kenang Bunju, adik kandung Hopeng, yang tersungkur digugat Nurhayati.
Bunju masih ingat, sekitar tahun 1980 an, ketika ia menyerahkan upeti setengah kaleng padi per rante setiap kali panen ke pihak Yayasan Wakaf Darwisjah. “Itu untuk anak yatim. Tapi, sejak 2008, kutipan itu tak datang lagi,” cerita Bunju kepada waspada.id, Minggu 11 Desember 2022, di Kota Galuh.
Bunju dan seratusan lebih kepala keluarga Tionghoa yang bermukim di 47 hektare tanah yayasan itu juga membayar pajak bumi bangunan setiap tahun, memiliki KTP Nasional, dan Akta Kelahiran di Dusun IV Kota Galuh.

Pembelaan di Pengadilan
Di depan hakim, Tongkang (tergugat I) menjelaskan historis bangunan rumah miliknya yang digugat adalah warisan turun temurun dari kakek dan ayahnya. Rumah itu telah ada sejak sebelum ia lahir tahun 1965. Sedangkan penggugat Nurhayati baru memperoleh tanah seluas sekitar 660.000 M2 pada 1979 berdasarkan Surat Penyerahan Hak tanggal 27 Juli 1979.
Tongkang mengatakan Nurhayati sama sekali tidak pernah menguasai ataupun mengusahai tanah perkampungan penduduk di Desa Kota Galuh. Nurhayati baru muncul pada saat mengajukan gugatan perkara ini dengan mengklaim sebagai pemiliknya.
“Ini sangat irasional apabila disebut kami harus lebih dahulu memberitahu dan meminta izin kepada penggugat dalam mendirikan bangunan rumah sebelumnya di atas tanah yang telah dikuasai dan dihuni sejak ratusan tahun lalu,” katanya.
Bahkan, kata Tongkang, jauh sebelumnya tidak pernah ada peringatan baik lisan maupun tertulis tentang larangan, meminta pembongkaran, atau pengosongan rumah miliknya. ”Kami sama sekali tidak mengenal dan tidak pernah bertemu dengan Nurhayati. Kok dia tiba-tiba muncul?” jelas Tongkang.
Ia melanjutkan, “Kami bercocok tanam, kebun sayur sejak tahun 1911. Ini bisa dibuktikan dengan identitas penduduk yang lahir di Desa Kota Galuh,” tambah Tjan Jok Tjing alias Acin, tergugat II. Tanah perkampungan di Desa Kota Galuh, katanya, telah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda.
Anehnya lagi, kata Acin, apabila Nurhayati menerima penyerahan hak atas tanah membeli dari Tengku Raja Gamal Telunjuk Alam, maka sebelum melakukan pembelian dan penyerahan, ia sepatutnya melakukan cek fisik terlebih dahulu. Atau memeriksa status objek jual beli incasu telah adanya penguasaan warga penduduk Desa Kota Galuh atas objek tanah tersebut.
Telah nyata, lanjut Acin, sejak 1979 hingga sekarang Nurhayati tidak pernah menguasai fisik objek jual beli incasu. “Ini jelas bahwa atas objek jual beli incasu tersebut tidak pernah dilakukan penyerahan fisik (levering) kepada Nurhayati.”
Warga yang menjadi tergugat di tanah kakek moyangnya itu menjelaskan secara hukum alas hak Grant Sultan Serdang No. 102 tanggal 17 Mei 1924 itu tidak sah dan tidak valid. Sebab, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disebutkan: “Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu sejak mulai berlakunya undang-undang ini dihapus dan beralih kepada Negara”.
Karena itu, kata Acin, seandainyapun Nurhayati benar memegang surat Grant Sultan Serdang No. 102 tanggal 17 Mei 1924, maka itu sudah hapus dan beralih kepada negara. “Selama hak tersebut belum diberikan oleh Negara, maka tanah tersebut masih berstatus sebagai tanah Negara.”

Dia menegaskan lagi jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, maka tanah hak milik menjadi objek penertiban tanah terlantar jika dikuasai pihak lain secara terus menerus selama 20 tahun tanpa adanya hubungan hukum dengan pemegang hak.
Johan, 69 tahun, mantan Kepala Dusun IV Kota Galuh, kepada waspada.id di kediamannya mengaku heran dengan kemunculan Nurhayati. “Nurhayati itu datang entah dari mana,” kata Johan, pemegang sertifikat BPN yang tanahnya juga masuk dalam klaim 64 hektar milik Nurhayati.
Kepala Dusun 1985-2008 ini menegaskan alas hak tanah milik Johan dasarnya dari Tengku Ataila. ‘Leluhur kami hampir 100 tahun bermukim di sini. Mereka awalnya bayar sewa dengan Tengku Ataila,” jelas Johan.
Seingat Johan, tanah 47 hektar yang juga diklaim Nurhayati adalah milik Yayasan Wakaf Keluarga Darwisjah. Warga membayar sewa dengan pengurus yayasan.
Saksi Ahli untuk Warga
Pada persidangan Rabu 21 September 2022 di PN Sei Rampah, Serdang Bedagai, warga Dusun IV, Bunju alias Ayu Gurame, menghadirkan Dayat Limbong, seorang ahli dalam bidang hukum pertanahan. Pekan sebelumnya, pihak Nurhayati mendatangkan ahli bahasa dari Universitas Sumatera Utara.
Ahli hukum pertanahan Dayat Limbong adalah seorang akademisi, dosen di berbagai kampus seperti Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Universitas Medan Area (UMA), dan Universitas Nomensen Medan.
Dari kaca mata hukum pertanahan, kata Dayat di depan majelis hakim, seyogyanya warga Desa Kota Galuh yang semua tak memiliki alas hak tapi sudah menguasai tanah puluhan tahun, maka dalam pengajuan nanti mereka diprioritaskan mendapatkan alas hak tanah.
Dayat mengutip PP 24 tahun 1997, “jika 20 tahun tanah berturut-turut dikuasai dan diusahai dengan itikad baik, maka mereka itulah yang akan diperhatikan dan diprioritaskan untuk mendapat alas hak,” kata Dayat seperti dilansir dari GoSumut.com.
Masyarakat, kata Dayat, bisa meminta surat keterangan kepada kepala Desa untuk menjadi dasar serta acuan dalam permohonan kepemilikan tanah. “Kepala Desa bisa memberikan surat keterangan tanah kepada masyarakat bahwa mereka sudah menguasai dan mengusahai selama puluhan tahun dengan itikad baik,” katanya.
Kekacauan hukum
Sengketa tanah bekas pendudukan Belanda di Desa Tualang dan Dusun IV Kota Galuh Perbaungan dalam sepuluh tahun belakangan menyisakan banyak ketimpangan. Warga mulai tak nyaman lagi menetap di tanah yang sudah dihuni kakek moyangnya sejak hampir 100 tahun lalu.
Kehadiran sekelompok ormas berseragam yang dijadikan kaki tangan oleh para mafia tanah itu juga kian meresahkan. “Mereka meneror kami agar mengosongkan rumah,” kata seorang warga.
Kaki tangan para mafia itu adalah warga di sekitar desa mereka tinggal. “Kita kenal dengan mereka. Waktu mereka mengusir kami, mereka bilang, ‘Hei ini bukan tanah kalian, segera kosongkan!’ Trus saya jawab, emang ini tanah kalian?” kata warga yang mengaku pernah diteror.

Nurhayati, dengan surat Grand Sultannya, mengklaim tanah miliknya seluas 64 hektare (termasuk tanah yang dihuni Gatot di Desa Tualang). Di dalam 64 hektare itu ada masuk 47 hektare tanah yang dihuni 120 KK warga Tionghoa di Dusun IV Desa Kota Galuh (tanah kelahiran Hopeng).
Ketika Hakim PN Sei Rampah dalam putusannya Nomor 34/PDT.G/2019/PN SRH memenangkan gugatan Amrick terhadap Gatot (Ramlan CS) pada 2019, tiga tahun setelah itu, Majelis Hakim PN Sei Rampah, lewat putusannya Nomor 8/Pdt.G/2022/PN Srh, tanggal 02 November 2022, memenangkan gugatan Nurhayati, 64 tahun, terhadap tiga objek tanah milik warga di Dusun IV Kota Galuh.
Dasar Amrick Shing menggugat Gatot adalah Surat Penyerahan Tanah tanggal 20 Juni 1989 yang diketahui dan ditandatangani tergugat VIII dan Camat Perbaungan. Hakim menegaskan Amrick adalah pemilik sah atas objek tanah seluas 3072 m2 di Desa Tualang (termasuk rumah Gatot).
Anehnya, tanah yang dimenangkan Amrick itu masuk dalam 64 hektare surat Grand Sultan milik Nurhayati yang telah dinyatakan sah oleh hakim di pengadilan Sei Rampah lewat putusannya Nomor 8/Pdt.G/2022/PN Srh, tanggal 02 November 2022. Dan di dalam klaim Nurhayati ini juga ada tanah milik TNI AD cq Kodan I Bukit Barisan, berikut puluhan tanah bersertifikat BPN, Surat Bupati, dan Camat lainnya.
Atas klaim itu, gugatan perlawanan (Derden Verzet) datang dari Riza Bahar, mewakili Pengurus Yayasan Keluarga Wakaf Darwisjah. Ia menggugat Nurhayati yang telah memenangkan gugatan atas tiga objek di tanah 47 hektar yang hampir 100 tahun dihuni kaum Tionghoa Dusun IV Kota Galuh. Gugatan itu diterima PN Sei Rampah pada 16 November 2022.
Perlawanan Riza Bahar semakin membingungkan warga karena kelak pasti akan terjadi saling gugat tak berujung. Tumpang tindih putusan di pengadilan serupa menandakan rusaknya tatanan hukum dan mental penegak hukum di negeri ini. Ada apa dengan para “Wakil Tuhan” di muka bumi itu?
Warga berharap Komisi Yudisial RI turun ke Perbaungan menelisik huru hara hukum yang terbaca “sungsang” dalam dua putusan ganjil di pengadilan Sei Rampah itu. Agar ribuan jiwa warga di Tualang dan ratusan jiwa kaum Tionghoa di Kota Galuh menemukan rasa keadilan di tanah kakek moyang mereka setelah diusik “Belanda” masa kini. | RAMADANSYAH | RIZALDI ANWAR, Medan.
Respon (1)