MEDAN (Waspada): Akademisi Dr Alpi Sahari, SH, M.Hum, Kamis (24/3) mengatakan penyidik Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya telah melaksankan proses penegakan hukun terkait unlawful killing selaras dengan proses hukum.
Berkaitan dengan putusan bebas kasus unlawful killing, kata Alpi merupakan otoritaa Pengadilan untuk menilai dan menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah termasuk alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam kerangka pertanggungjawaban pidana bukan merupakan otoritas penyidik Polri.
“Ketidakfahaman akan proses ini tentunya berimplikasi terhadap penyidik Polri yang selalu dipersalahkan padahal penyidik Polri telah bekerja secara profesional dan proporsional bahkan dalam proses penyidikan terkait kasus unlawful killing lebih mengedapkan keadilan transformatif,” katanya.
“Dapat saya contohkan penyidik dalam proses penyidikan dimaksud tidak mengepankan crime control model melainkan lebih mengedepankan due process model dengan berpatkkan pada nilai keadilan bagi korban akibat daya paksa hilangnya nyawa yang tidak hanya berpatokkan pada legal guilt namun melihat factual guilt dengan mengharmonisasikan antara formal adjudicative dengan adversary fact finding,” bebernya.
Menurut Alpi, berkaitan daya paksa, padahal di dalam doktrin hukum pidana terdapat beberapa postulat yakni: Pertama, quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit. Artinya, keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum.
Kedua, in casu extremae necessitates omnia sunt communia yang berarti dalam keadaan terpaksa tindakan yang diambil dipandang perlu. Ketiga, necessitas quod cogit defendit; keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat.
Dari uraian ini Alpi mengaitkan dengan fenomena yang terjadi dan berkembang di media massa antar lain: Pertama, adanya kalangan yang merespons putusan bebas unlawful killing agar Kapolda Metro Jaya Bapak Irjen Dr Fadil Imran dicopot oleh Kapolri tentunya tidak mendasar dan tidak memiliki kaitan malahan Kapolri telah melakukan undue process of law yang tidak dibenarkan oleh hukum apabila melakukan pencopotan terhadap Kapolda Metro Jaya.
Kedua, kasus seorang perempuan yang menerobos dan menabrak ruangan SPKT Polres Siantar juga berkaitan dengan reaksi ketidakpuasan karena putusan bebas unlawful killing selain ketidakadaan keterkaitan Polri dengan putusan bebas juga ketidakfahaman masyarakat terhadap crime control model dan due process model.
Untuk itu, ujar pakar hukum pidana di Sumatera Utara ini, agar semua pihak dan kalangan agar memberikan statement yang mendasar dan didasarkan pada pemahaman hukum agar masyarakat tidak salah pemahaman yang berdampak pada aksi kontraproduktif yang merugikan masyarakat itu sendiri akibat salah pemahaman seperti kasus di Polres Siantar.
“Apabila secara utuh masyarakat memahaminya maka kecintaan dan kepercayaan terhadap Polri akan semakin baik,” katanya.(m05/A)











