MEDAN (Waspada): Proyek revitalisasi Lapangan Merdeka Medan yang digagas oleh Pemerintah Kota Medan di bawah kepemimpinan Wali Kota yang pada saat itu dijabat Bobby Nasution menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Selain digugat oleh kelompok masyarakat sipil karena prosesnya yang dianggap tidak partisipatif, proyek ini juga dinilai mengabaikan nilai-nilai sejarah dan budaya yang melekat pada kawasan tersebut.
Pengamat tata kota dan kebijakan publik, Elfenda Ananda, mengungkapkan bahwa revitalisasi ini telah mengakibatkan hilangnya simbol-simbol budaya Melayu yang sebelumnya menjadi ciri khas Lapangan Merdeka.
“Lapangan Merdeka bukan sekadar ruang terbuka hijau, ia adalah cagar budaya dengan nilai sejarah, pendidikan, hingga kebudayaan yang sangat penting bagi identitas Kota Medan,” kata Elfanda.
Cagar Budaya yang Terancam
Lapangan Merdeka selama ini dikenal sebagai salah satu ruang publik bersejarah di Medan. Tempat ini menyimpan berbagai peristiwa penting yang membentuk perjalanan sejarah kota. Namun, revitalisasi yang tidak sensitif terhadap nilai-nilai historis dianggap telah merusak esensi kawasan ini.
Menurut Elfanda, perubahan yang terjadi, terutama pembangunan pusat komersial di bawah tanah lapangan, berpotensi menghapus bentuk asli dan karakter historisnya. “Komersialisasi berlebihan dapat mengubah tempat ini menjadi sekadar ruang bisnis, kehilangan jiwa dan nilai budaya yang selama ini menjadi identitasnya,” jelasnya.
Tak hanya itu, perubahan drastis juga dinilai mengganggu struktur sosial dan lingkungan sekitar. Peningkatan arus lalu lintas, perubahan iklim mikro, hingga potensi penggusuran masyarakat di sekitar kawasan menjadi kekhawatiran baru yang mencuat di tengah masyarakat.
Partisipasi
Salah satu kritik utama terhadap proyek ini adalah pendekatan pembangunan yang bersifat top-down. Pemerintah Kota Medan dinilai tidak melibatkan cukup banyak pihak, terutama tokoh masyarakat dan komunitas kebudayaan, dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.
“Pembangunan yang menafikan suara masyarakat itu sangat membahayakan. Bukan hanya secara fisik, tetapi secara simbolik, karena memutus kesinambungan antara sejarah dan masa depan kota,” ujar Elfanda.
Dipertanyakan
Proyek revitalisasi ini diketahui menelan anggaran sebesar Rp 500 miliar yang dialokasikan secara multiyears sejak 2022 hingga 2024. Dari jumlah tersebut, Rp 100 miliar berasal dari APBD Provinsi Sumatera Utara. Namun, hingga pertengahan 2025, kelanjutan proyek ini masih belum jelas. Bagian bawah lapangan yang seharusnya dikembangkan menjadi area publik modern, kini tampak terbengkalai.
Lebih dari itu, sejumlah persoalan mencuat terkait transparansi penggunaan dana. Masyarakat mempertanyakan ke mana arah anggaran tersebut, terlebih adanya laporan bahwa upah buruh proyek belum dibayarkan, serta indikasi penyalahgunaan material seperti tanah timbun yang diambil dari lapangan dan digunakan untuk proyek lain tanpa kejelasan administrasi.
Elfanda menyoroti bahwa hingga saat ini belum ada temuan signifikan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait proyek ini.
“Model Pembangunan yang top down yang dilakukan pemko Medan tanpa menerima masukan berbagai tokoh Masyarakat dan kelompok Masyarakat sangat membahayakan. Terkait anggaran sebesar Rp 500 miliar untuk pembiayaan lapangan Merdeka Medan yang viral karena sampai saat ini tidak jelas kelanjutannya. Anggaran ini dialokasikan secara multiyear sejak tahun 2022 hingga 2024 namun banyak persoalan hingga soal upah buruh yang tidak dibayar. Proyek ini juga menerima Bantuan dari APBD Provinsi sebesar Rp 100 miliar dari APBD Provinsi untuk revitalisasi Lapangan Merdeka,” cecarnya.
bahkan ia menyebutkan banyak komponen masyarakat dan lembaga NGO yang menyoroti persoalan anggaran proyek revitalisasi lapangan Merdeka Medan. Namun, sampai saat ini kelihatannya tidak ada persoalan yang menjadi temuan dari hasil audit BPK RI terkait proyek ini. Tentunya patut dicurigai pihak auditor kurang bersungguh sungguh atau masih sungkan untuk menelusuri lebih jauh terkait permasalahan proyek ini.
Sebab, banyak sorotan terkait proyek misalnya tanah lapangan Merdeka medan yang dikeruk bagian tengahnya tanah timbunnya dipergunakan untuk proyek lain.
Namun, untuk penjualannya tidak jelas masuk kemana, selain itu soal asset yang ada dilapangan Merdeka sebelumnya tidak jelas penghapusannya serta proyek sebelum dimulainya pelaksanaan proyek revitalisasi juga dilakukan biaya rehab terhadap bangunan diatasnya.
Namun, semua itu tidak menjadi catatan terhadap proyek ini.
Selanjutnya, untuk pertanggungjawaban proyek revitalisasi lapangan Merdeka medan pada bagian bawahnya sampai saat ini tidak jelas kelanjutannya.
Apakah diteruskan atau terbengkalai menjadi bagian yang tidak terselesaikan. Tentunya ini harus menjadi catatan yang penting bagi warga kota Medan yang membayar pajak. Kemana uang pajak tersebut dipergunakan termasuk tidak dilibatkannya Masyarakat dalam berbagai perencanaan Pembangunan yang modelnya saat ini lebih mengadopsi model top down atau dari atas.” tegasnya.
Di tengah ketidakjelasan kelanjutan proyek, warga Kota Medan kini mempertanyakan tanggung jawab pemerintah terhadap dana publik yang telah digelontorkan. Pajak yang mereka bayarkan seharusnya digunakan secara transparan dan akuntabel, apalagi untuk proyek yang menyangkut ruang publik dan warisan budaya.
“Revitalisasi Lapangan Merdeka seharusnya menjadi simbol perbaikan, bukan perusakan. Bila nilai sejarah diabaikan dan dana publik tidak dikelola dengan transparan, maka kita tidak hanya kehilangan ruang, tapi juga kehilangan identitas,” pungkas Elfanda.(cbud)