Memperkuat Kepemilikan Psikologis Dan Identitas Diri Pendonor Darah Suka Rela Salah Satu Cara Meningkatkan Jumlah Suplai Darah Di Indonesia

  • Bagikan
Memperkuat Kepemilikan Psikologis Dan Identitas Diri Pendonor Darah Suka Rela Salah Satu Cara Meningkatkan Jumlah Suplai Darah Di Indonesia

Oleh Nabila Ariiqah
 
Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap negara seharusnya memiliki persediaan darah minimal 2% dari jumlah penduduknya. Dengan jumlah total penduduk Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa (BPS, 2022), idealnya ada sekitar 5,5 juta kantong darah total yang harus tersedia di Palang Merah Indonesia (PMI).  Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan, ketersediaan darah untuk donor secara ideal adalah 2,5% dari jumlah penduduk Indonesia, sehingga dengan jumlah total penduduk Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa tersebut maka dibutuhkan darah sebanyak 6,875 juta kantong darah. Sehingga dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa Indonesia membutuhkan ketersediaan darah sebanyak 5,5-6,875 juta kantong darah. Sayangnya, diperkirakan bahwa hanya tersedia rata-rata 4 juta kantong darah per tahun di Indonesia.

Terkait stok darah sesuai dengan jenis golongan darah, per 14 Juni 2022 pukul 08.06 WIB dari data PMI yang dipublikasi pada lama DataIndonesia.id., stok darah di Indonesia mencapai 87.238 kantong. Per 14 September 2023, terdapat sebanyak 77.438 kantong darah dimiliki Unit Donor Darah di seluruh Indonesia yang dipublikasi pada Kompas Data. Per 14 Juni 2022 tersebut terdapat 33.476 kantong merupakan stok darah O+. Stok darah B+ tercatat sebanyak 27.323 kantong. Kemudian, stok darah golongan A+ berjumlah 16.304 kantong. Sedangkan, stok darah AB+ berjumlah 10.135 kantong.

Padahal menurut Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 37,9 juta penduduk Indonesia telah melaporkan golongan darahnya, yaitu sebanyak 7,9 juta jiwa memiliki golongan darah A, 640,8 ribu jiwa bergolongan darah A+, 37,9 ribu jiwa bergolongan darah A-, 8 juta jiwa bergolongan darah B, 358,8 ribu golongan darah B+, 25 ribu jiwa golongan darah B-, 3,2 juta bergolongan darah AB, 113,4 ribu jiwa golongan darahnya AB+, 44,1 ribu jiwa bergolongan darah AB-, 16,9 juta penduduk bergolongan darah O, 328,1 ribu jiwa bergolongan darah O+, 338,6 ribu jiwa bergolongan darah O-.

Dengan membandingkan jumlah penduduk Indonesia di tahun 2022, maka hanya sekitar 13,78%  penduduk Indonesia yang telah melaporkan golongan darah mereka, yaitu sebagian besar bergolongan darah A, B, AB, dan O tanpa menyebutkan rhesusnya. Hanya 5 persen yang melaporkan dengan rincian lengkap rhesus positif atau negatifnya. Ini berarti sekitar 237,1 juta, atau 86,22% penduduk Indonesia belum tercatat golongan darahnya.

Pada peringatan Hari Donor Darah Sedunia Tahun 2023, Direktur Pelayanan Kesehatan Primer dalam sambutannya menyampaikan harapnnya semoga melalui kegiatan donor darah, semakin banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya berbagi kehidupan kepada mereka yang membutuhkan. Dari laman Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, juga tertulis bahwa dengan jumlah total penduduk Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa per tahun 2022, idealnya ada sekitar 5,5 juta kantong darah total/tahun yang tersedia baik di UTD PMI maupun UTDRS. Sayangnya, saat ini hanya tersedia rata-rata 4 juta kantong darah per tahun, dengan 90% berasal dari donor darah sukarela, dan sisanya dari donor pengganti. Menurut penulis sendiri, kesadaran masyarakat tentang pentingnya donor darah dan partisipasinya sebagai pendonor darah harus terus ditingkatkan mengingat bahwa Indonesia masih membutuhkan sekitar 1,5-2,875 juta kantong darah per tahun.

Yang dimaksud dengan donor darah sukarela adalah seseorang yang dengan sukarela dan tanpa adanya tekanan atau imbalan, menyumbangkan darahnya untuk keperluan transfusi darah. Mereka melakukan donor darah atas dasar kepedulian dan kesadaran untuk membantu orang lain yang membutuhkan darah. Sedangkan donor pengganti adalah praktik di mana seseorang yang membutuhkan transfusi darah diminta untuk menyediakan pendonor pengganti untuk jumlah darah yang mereka terima. Ini berarti jika seseorang membutuhkan darah, mereka atau keluarganya harus mencari orang lain yang bersedia mendonorkan darah sebagai pengganti. Praktik ini telah menuai kritik karena dianggap tidak etis dan memunculkan potensi tekanan atau paksaan terhadap pendonor. Banyak organisasi kesehatan dunia menyarankan agar praktik donor pengganti dihapuskan dan digantikan dengan sistem donor darah sukarela untuk memastikan keselamatan dan keberlanjutan pasokan darah. Oleh sebab itu, menurut penulis, mempertahankan perilaku pendonor darah suka rela merupakan salah satu cara untuk meningkatkan suplai darah di Indonesia.

Dari literatur-literatur yang ada, menurut penulis, kepemilikan psikologis pendonor darah merupakan salah satu cara untuk meningkatkan suplai darah. Bagi mereka yang secara konsisten mendonorkan darahnya melalu lembaga pengumpul darah yaitu PMI, tindakan mendonorkan darahnya di masa sebelumnya dapat dianggap sebagai indikator utama untuk menentukan apakah mereka akan terus mendukung kegiatan tersebut di masa mendatang. Bahkan pada pendonor yang baru memulai, periode 1 tahun pertama sebagai pendonor darah memiliki peranan yang sangat penting. Mereka yang berhasil menyumbangkan sejumlah besar darah dalam periode ini jauh lebih cenderung untuk melanjutkan kebiasaan mendonasikan darah mereka secara rutin dibandingkan dengan mereka yang hanya melakukan donasi sekali saja.

Dalam kerangka teori identitas terkait perilaku donasi, ketika pendonor baru terus berpartisipasi dalam mendonasikan darahnya melalui PMI, mereka mulai membentuk identitas dirinya sendiri sebagai seorang pendonor darah PMI, karena semakin terlibatnya mereka dalam kegiatan donor darah PMI. Melalui tindakan donasi yang berulang, identitas ini menjadi semakin terkonfirmasi. Oleh karena itu, identitas diri ini sebagai pendonor darah dapat berfungsi sebagai perantara dalam menghubungkan perilaku donasi pada masa lalu dan di masa mendatang. Dari penjelasan di atas, meningkatkan rasa subjektif kepemilikan psikologis dari pendonor darah pada PMI dapat memperkuat identitasnya sebagai pendonor darah.

Konsep kepemilikan psikologis ini berasal dari literatur organisasi dan didefinisikan sebagai rasa kepemilikan yang dialami atas kepemilikan material dan immaterial. Inti dari kepemilikan psikologis adalah perasaan terhubung secara psikologis dengan suatu kepemilikan sehingga kepemilikan tersebut menjadi perpanjangan dari diri. Kepemilikan psikologis dan identitas diri secara teoritis kalau dikaitkan dengan donor darah maka dapat diasosiasikan sebagai apa yang menjadi milik pendonor, dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan identitas diri pendonor. Sehingga meningkatkan persepsi kepemilikan psikologis pendonor terhadap PMI merupakan jalur potensial untuk mengembangkan identitas diri donor yang tidak hanya bergantung pada perilaku masa lalu. Mereka yang berdonasi berulang kali harus melaporkan tingkat kepemilikan psikologis yang tinggi terhadap PMI mereka serta identitas diri dan niat yang lebih kuat untuk berdonasi dibandingkan dengan donatur yang jarang menyumbang darahnya.

Gagasan tentang kepemilikan psikologis ini berasal dari literatur organisasi dan diartikan sebagai perasaan memiliki terhadap aspek materi dan immateri. Inti dari konsep kepemilikan psikologis adalah adanya hubungan psikologis dengan kepemilikan, menjadikannya sebagai ekstensi dari diri sendiri. Secara teoritis, ketika dikaitkan dengan donor darah, kepemilikan psikologis dan identitas diri dapat dianggap sebagai apa yang dimiliki oleh pendonor, berpotensi berfungsi sebagai cara untuk membentuk identitas diri pendonor. Oleh karena itu, meningkatkan persepsi kepemilikan psikologis pendonor terhadap PMI dapat menjadi jalur potensial untuk mengembangkan identitas diri pendonor yang tidak hanya bergantung pada perilaku masa lalu. Mereka yang secara rutin mendonorkan darah harus melaporkan tingkat kepemilikan psikologis yang tinggi terhadap PMI dan memiliki identitas diri serta niat yang lebih kuat untuk mendonorkan darah dibandingkan dengan donor yang jarang menyumbang.

Penelitan yang dilakukan oleh Professor Barbara Masser bersama timnya, dengan melibatkan responden pendonor darah dalam 2 tahun terakhir yang terdiri dari 255 peserta donor darah (direkrut melalui Prolific Academic sebanyak 175 pendonor, dan kelompok komunitas donor darah online Australia sebanyak 80 pendonor), ditambah dengan 252 bukan peserta donor darah yang direkrut melalui Prolific Academic, menyimpulkan bahwa perilaku donasi berhubungan positif atau terkuat dengan kepemilikan psikologis dari pendonor darah, dan yang bukan peserta pendonor darah memiliki kepemilikan psikologis terlemah. Untuk detail penelitian ini dan pendapat peneliti-peneliti sebelumnya yang penulis ambil sebelumnya dapat dibaca dari publikasi Professor Barbara Masser bersama timnya yang berjudul “Psychological ownership and identity motives in blood donation”. Dalam penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa niat yang tulus (suka rela) dalam mendonorkan darah memiliki hubungan yang erat dengan kepemilikan psikologis dan identitas diri pendonor darah.

Menurut penulis, apa yang telah dilakukan oleh PMI untuk memperkuat kepemilikan psikologis dari pendonor dan memperkuat identitas dirinya sebagai pendonor darah suka rela adalah sebagai berikut:
1.     Pemahaman dan pengetahuan tentang donor darah sukarela
Dalam hal ini, PMI mempersiapkan petugas Pencari Pelestari Donor Darah Sukarela (PPDDS) untuk memahami dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang donor darah sukarela.
2.     Kampanye Humas
PMI menggunakan strategi kampanye humas untuk mengajarkan masyarakat untuk menjadi pendonor darah sukarela.
3.     Pemeriksaan kesehatan gratis
Sebelum mendonorkan, pendonor darah harus memenuhi persyaratan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan gratis dilakukan oleh PMI sebelum mendonorkan darah
4.     Gambaran pengetahuan, sikap, dan motivasi: PMI meniliki gambaran pengetahuan, sikap, dan motivasi pendonor darah sukarela yang baik.
5.     Koordinasi dengan pemerintah
PMI bekerja sama dengan pemerintah untuk menyelenggarakan Upaya UKTD (Upaya Kesehatan Transfusi Darah) untuk memenuhi kebutuhan darah masyarakat.
6.     Latihan dan acara.
PMI mengatur latihan dan acara untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi pendonor darah sukarela.
Dalam konteks ini, PMI berperan penting dalam mempertahankan perilaku pendonor darah suka rela dengan menggunakan berbagai strategi dan inisiatif. Ini membantu dalam meningkatkan jumlah pendonor darah sukarela dan memastikan pasokan darah untuk keperluan transfusi darah di Indonesia.

Penulis adalah mahasiswa S1 Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala (USK)
 

  • Bagikan