Kekuasaan Politik Negara Dengan KKN

  • Bagikan
Kekuasaan Politik Negara Dengan KKN

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Pada dasarnya keilmuan politik merupakan salah satu yang tertua di dunia, maka politik dalam praktiknya merupakan usaha untuk mendapatkan kekuasaan dalam kepemimpinan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga terminologi politik dan kekausaan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para aktor dan poitisi sebagai target yang diinginkan dalam interkais kehidupannya, sehingga kekuasaan politik merupakan idaman maupu  impian yang sangat didambakan.

Hal ini menggunakan teori kekuasaan Max Weber dan teori fungsional struktural Talcoot Parsons adalah, kekuasaan sebagai kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang-orang lain berperilaku sesuai dengan kehendaknya (Hoogewerf. 1985). Sehingga politik demikian dapat kita simpulkan pada instansi pertama berkenaan dengan pertarungan untuk kekuasaan. Makanya pada saat kontestasi politik melalui pesta demokrasi, melalui praktik curang para aktor maupun politisi berusaha untuk memenangkan kontestasi untuk dapat menjadi penguasa politik yang kemudian dapat mempengaruhi perilaku poltik, juga memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan pemaksaan melalui kebijakan politik.

Pada saat kekuasaan politik yang merupaskan otoritas politik yang  dikuasi oleh pemimpin ataun elite politik yang berkuasa, ini diperoleh melalui kontestasi sebagai penguatan memperoleh legitimasi politik yang dikuasainya. Ini dilaksanakan melalui kewenangan yang ada dibawah kekuasaan politik, bahkan dapat dijadikannya menjadi sangat berkuasa dengan kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan politik para aktor serta elite politik. Pemimpin politik hasil kontestasi politik kemudian memiliki wewenang selaku manusia yang menyangkut juga kepada hubungan kekuasaan. Sehingga ini yang dimaksudkannya dengan wewenang (authority) adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh dalam kehidupan sosial-ke asyarakat. Dengan demikian jenis authority ini yang kemudian disebutnya dengan rational legal authority, sebagai bentuk hierarki politik wewenang yang berkembang didalam interaksi kehidupan masyarakat modern. Maka menurut George Ritzer & Douglad J. Goodman (2007) yaitu, wewenang sedemikian ini dibangun atas dasar legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya.

Kemudian antara hak serta wewenang yang dimiliki seringkali masyarakat sebagai tujuan kepentingan politik yang semestinya mampu menciptakan kehidupan yang lebih baik, makmur serta sejahtera merupakan kewajiban yang mesti dikelola serta diurus oleh pemimpin sebagai aktivitas kekuasaan politik dalam kehidupan berbangsa serta bernegara yang berkeadilan, harmonis dan bertanggung jawab. Ini menuntut elite ataupun pemimpin politik yang berkuasa secara sadar, demokratis, berkuasa secara berkeadilan tidak memikirkan kepentingan pribadi, kelompok, golongan serta partai politik serta keluarga dan kerabatnya. Dalam konteks politik dengan jargon “revolusi mental” ini merupakan politik yang memiliki keadaban serta berkeadaban dalam mengelola serta mengurus kehidupan serta kepentingan masyarakat luas. Jika konsep, visi, misi dan program pelaksanaan melalui kebijakan yang efektif, maka jargon revolusi mental semestinya politik semakin beradab, berakhlaqul-karimah, sehinga istilah tersebut tidak hanya “lips services”, hanya dipahami jargon saja, tidak memiliki landasan konsep yang jelas, rinci dan runut, maka kehidupan berbangsa serta bernegara menjadi lebih baik, beradab, berakhlaq, tidak otoriter dan tidak rakus kekuasaan.

Dalam hal ini otoritas kekuasaan, sebagai wewenang kekuasaan politik semestinya tidak memanfaatkan kekuasaan politik untuk menguasai seluruh potensi sumber daya alam (menguasai tambang), sumber ekonomi berusaha memperkaya diri, juga memanfaatkan kekuasaan politik untuk keluarga, anak, istri kerabat serta orang disekitarnya dengan “akal licik” menjebak orang dibawah cengkeraman kekuasaannya. Memanfaatkan kekuasaan politik legitimasi berdasarkan pemilihan umum, kemudian kroni, pembantu sebagai sistem kabinet yang mudah diautur dan dikendalikan, pemanfaatan anggaran belanja publik menjebak mereka denga uang rakyat, belanja publik dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan cenderung korupsi berjamaah. Sehingga praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi demikian masif, tanpa adanya “law enforcement” karena ketidakberdayaan institusi hukum, yang berada dibawah cengkeraman kekuasaan politik autoritariant, bahkan terus memelihara kekuasaan politik dengan menggunakan cara-cara Machiavelist, termasuk dengan menggunakan serta menciptakan politik dinasti dari anak-keturunannya selagi penguasa pemimpin tertinggi, dan penguasa politik. Sehingga kekuasan politik dengan memanfaatkan pengembangan sistem KKN yang semakin terstruktur, sistematis dan masif (TSM), ini dapat memiskinkan rakayat/masyarakatnya, secara sadar sengaja diciptakan oleh elite dan pemimpin politik berkuasa, maka kemiskinan akan dijadikan objek politik yang sangat mudah dikendalikannya.

Bahwasannya, proses politik yang terus berusaha mempertahankan kekuasaannya, ini selaras dengan usaha mendapatkan serta mempertahankan kekuasan politik. Ini kemampuan aktor politik untuk mempengaruhi orang lain, yang dilakukan sesuai dengan tindakan, kebijakan dan keinginannya, didukung oleh kroni-kroninya, bahkan keluarganya. Bahkan ini dilakukan dengan cara-cara yang licik, tidak beretika, serta tidak beradab dalam konteks demokrasi politik modern yang menjunjung tinggi norma, aturan hukum dan etika. Jika target politiknya adalah kekuasaan, maka segala upaya dilakukan untuk tetap menjadi penguasa politik, maka dengan segala daya upaya serta kelicikannya, semuanya dilanggar, diterabas bahkan etika politik diterabas dengan cara culas, curang dan busuk. Meskipun, etika moral memiliki kedudukan tertinggi dalam filosofi hukum dan politik. Sehinga konsep manusia sebagai makhluk politik menunjukkan bahwa, pemikiran politik yang menyangkut proses dan hasil dari kegiatan politik suatu sistem politik untuk pengelolaan atau mengurus pemerintahan berdasarkan pada esensi (hakikat) manusia. Maka manusialah yang harus menjadi kriteria atau ukuran dan tujuan, bukan pribadi, kelompok, golongan, partai politik dan keluarga. Meskipun dalam praktik politik kekuasaan, orang ataupun pemimpin politik bisa saja meremehkan fakta, aturan hukum dan etika-moral bahwa, pada dasarnya manusia itu ambivalen dan berubah dalam kehidupannya, maka kekuasaan dimanapun dan kapanpun selalu tidak hanya digunakan dengan baik tetapi juga disalahgunakan ini dengan menggunakan praktik kekuasaan dengan KKN. Oleh sebab itu, sejak zaman dulu manusia mengupayakan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan, terutama yang dilakukan oleh mereka para pemegang kekuasaan poltik ataupun pemimpin politik. Bahwasanya terminologi  etika (filsafat moral) dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral dan akhlaq yang menjadi dasar seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur  tingkah lakunya. Sesungguhnya etika memberikan dasar moral kepada politik, aturan hukum serta interaksi sosial kemasyarakatan dalam sebuah negara. Maka menghilangkan etika dari kehidupan politik berimplikasi pada praktik politik busuk dan kotor yang bersifat Machavellistis, yaitu politik digunakan sebagai alat untuk melakukan segala sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan, norma yang berlaku seakan bernuansa positivistik (bebas nilai), bahkan ugal-ugalan dalam penetapan kebijakan politik.

Dengan demikian, etika politik tidak menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar negara. Maka etika bersifat reflektif yakni, memberikan sumbangan pemikiran tentang bagaimana masalah-masalah kehidupan dapat dihadapi, tetapi tidak menawarkan tentang bagaimana cara memecahkannya. Dengan demikian etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan sebagai warga negara terhadap negara, terhadap hukum yang berlaku dan lain sebagainya. Maka menurut Magnis Soeseno (1988), etika politik dapat memberikan patokan-patokan, orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang ingin menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia. Sehingga praktik kekuasaan politik dengan melanggar etika-moral dan akhlaq, ini menunjukkan pemimpin yang tidak bermartabat dan berakhlaq, juga menggunakan dominasi ataupun autoritarianisme politik kekuasaannya dengan praktik KKN, sesungguhnya korupsi secara empiris, realistis sistemik busuk dalam kekuasaan politik dapat memiskinkan rakyat/masyarakatnya, merusak sistem kenegaraan yang beradab, berdaulat dan etika manusia.

Penulis Dosen Pasca Sarjana MM FE Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh

  • Bagikan