Ketika SDM Berkualitas Dikalahkan Ordal

  • Bagikan
Ketika SDM Berkualitas Dikalahkan Ordal

Oleh Tabrani Yunis

Tulisan berjudul, “Masih Perlukah Kuliah?” yang dimuat di Serambi Indonesia pada hari Jumat, 15 Maret 2024, banyak mendapat tanggapan setelah penulis share di beberapa WhatsApp group. Tanggapan datang dari teman-teman, pembaca yang berada di beberapa wilayah di tanah air. Ada yang di Jakarta, Pontianak dan lain-lain, termasuk yang paling banyak dari Aceh. Tanggapannya juga beragam. Ada yang memberikan tanda ibu jari, keren, menarik dan juga komentar -komentar yang memberikan tambahan penjelasan serta pertanyaan -pertanyaan baru. Tanggapan-tanggapan itu kemudian memantik munculnya ide baru untuk ditulis atau diulas dan menjadi tulisan ini.

Satu pertanyaan dari Mahdi Andela, yang memantik penulis. Pertanyaan yang memberikan ide baru. Maka, ide itu harus diwujudkan menjadi sebuah tulisan baru. Oleh sebab itu, pertanyaan itu menjadi ide atau gagasan yang harus ditangkap agar tidak hilang begitu saja. ini adalah salah satu strategi dalam mencari ide menulis.

Nah, apa yang dilontarkan oleh Bung Mahdi Andela kala merespon tulisan yang berjudul “ Masih Perlukah Kuliah?” Itu: ia berkomentar dengan kalimat bertanya. Pertanyaan yang sederhana, seperti ini, “SDM dan Kompetensi, Masihkah Dibutuhkan? “. Pertanyaan itu kemudian penulis ubah dengan “ Kompetensi vs Relasi” Mana Yang Lebih Diutamakan?

Jadi, sebelum penulis menjabarkan lebih lanjut, alangkah baiknya, pertanyaan dari Bung Mahdi Andela itu, penulis lemparkan kepada pembaca, agar bisa dijawab bersama dengan mengamati hal itu di dalam praktik sehari-hari di dalam masyarakat kita, khususnya dalam dunia kerja di birokrasi pemerintahan. Juga bisa dengan mencari referensi dan kerangka teori untuk kedua terminologi tersebut.

Bila ditanya SDM dan Kompetensi masihkah diperlukan, maka pembaca akan memberikan jawabannya Ya. Sama dengan penulis. Artinya SDM dan Kompetensi itu adalah kebutuhan dasar untuk bisa melakukan dan menyukseskan sebuah pekerjaan. SDM yang berkualitas juga sebagai pilar utama bagi dunia kerja, baik di organisasi-organisasi massa, organisasi non pemerintah (Ornop), perusahaan dan juga lembaga-lembaga pemerintah.

Sumber daya manusia yang berkualitas itu adalah SDM yang memiliki beberapa ciri-ciri seperti berikut ini. Pertama, memiliki pengetahuan yang cukup dan mendalam yang memahami dengan baik tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya, memiliki pengetahuan yang relevan terkait pelaksanaan tugas secara penuh. Kedua, memiliki ketrampilan atau keahlian ( skills)
yang bagus dan berkualitas. Dengan ketrampilan, keahlian atau skill yang berkualitas, akan mampu melaksanakan tugas-tugas yang diperlukan karena memiliki keahlian dan keterampilan yang sesuai. Ke tiga, memiliki beberapa sikap yang bagus atau baik seperti sikap kreatif, inovatif, kolaboratif dan produktif, sehingga dengan sikap -sikap SDM seperti ini, akan mempercepat pencapaian tujuan dan target pembangunan suatu bangsa. Selain itu, SDM yang berkualitas itu memiliki kemauan bekerja sama dengan orang lain, dapat dipercaya, dan loyal. Ke empat, memiliki rasa percaya diri ( self confidence) yang tinggi dan semangat untuk memperbaiki diri. Ke lima, juga memiliki sikap dinamis dan adaptif, sebagai wujud dari SDM yang siap menghadapi perubahan sosial budaya, politik, ekonomi dan teknologi yang terjadi dalam masyarakat. Ke enam, tidak kalah penting dan juga menjadi pilar penting adalah SDM yang memiliki moral atau akhlak yang tinggi. SDM yang bermoral tinggi adalah SDM yang berkualitas moral, memiliki watak baik seperti jujur atau amanah, menepati janji, disiplin, serta peka terhadap hak dan kepentingan orang lain.

Jadi, tak dapat dimungkiri bahwa dengan memiliki sumber daya manusia yang memenuhi kriteria di atas, suatu organisasi massa, ornop dan institusi negara akan dapat lebih maju dan mandiri dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Namun yang menjadi pertanyaan kita selama ini, ketika sebuah organisasi, apakah ormas, ornop dan organisasi bisnis ( perusahaan) dan khususnya di institusi -institusi negara atau lembaga-lembaga pemerintah yang menampung atau membutuhkan tenaga kerja, mengutamakan kriteria SDM yang berkualitas tersebut?

Idealnya agar agar pencapaian visi dan misi semua organisasi dan institusi pemerintah berjalan dengan baik, harus memiliki kekuatan SDM berkualitas seperti disebutkan di atas. Bukan hanya itu, hal yang juga sangat dibutuhkan adalah sejumlah kompetensi lain yang lebih khusus terkait dengan pengetahuan dan keahlian teknis, soft skill, berfikir kritis, kemampuan berkomunikasi yang baik, atau komunikatif, bertanggung jawab, dan etos kerja serta kemampuan mengatur waktu. Semua ini merupakan kompetensi yang harusnya menjadi dasar atau landasan bagi SDM yang berkualitas.

Kemudian, yang harus diingat bahwa kompetensi tersebut bisa sangat variatif, sangat ditentukan oleh peran dan tanggung jawab individu di tempat kerja. Di sinilah letak pentingnya bagi setiap orang untuk terus mengembangkan dan memperkuat kompetensinya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan pekerjaan.

Jadi, untuk menjawab apakah SDM yang berkualitas dan memiliki kompetensi yang baik dan unggul masih diperlukan dalam memasuki dunia kerja? Atau mana yang akan diutamakan dalam proses perekrutan tenaga kerja, SDM yang kompeten atau yang berbasis relasi? Jawabnya, tidak terbantahkan. Sangat perlu SDM yang kompeten dan berkualitas dibanding yang berbasis relasi atau kedekatan. Dikatakan demikian karena SDM yang kompeten dan berkualitas harus ada atau eksis dalam setiap organisasi, perusahaan dan lembaga pemerintah yang sehat.

Namun dalam realitas kehidupan dunia kerja, khususnya di lembaga pemerintah atau swasta, faktor relasi “ negatif” sering ada pihak yang merusak sistem. Ya, ketika sebuah institusi memburuhkan sumber daya manusia yang kompeten dan berkualitas, yang melakukan sistem seleksi yang ketat, selalu ada orang dalam (people in) yang mencari untung dengan cara-cara melawan prosedur, dengan menggunakan paman, saudara, ayah, ibu atau bos serta penggunaan katabelece dan sebagainya, sebagai upaya untuk bisa masuk kerja. Tindakan ini semakin sering terjadi ketika sebuah pekerjaan dan apalagi jabatan, yang ditentukan oleh kepentingan politik penguasa, malah mengabaikan kriteria SDM yang kompeten dan berkualitas. Malah ada yang mensinyalir ada praktik transaksional.

Pada level tertinggi misalnya, kekuatan politik kekuasaan di negeri ini, kita sudah menyaksikan dan dengan tanpa mampu berkata apa-apa, posisi wakil Presiden saja sudah tidak mengikuti kriteria dan persyaratan yang seharusnya. Wajar saja, kalau banyak yang berkata, untuk apa pendidikan hingga mendapat gelar Doktor dan SDM kompeten dan berkualitas, ternyata untuk menjadi wakil Presiden di negeri ini, tidak perlu sekolah atau pendidikan tinggi, cukup dengan ijazah SMA atau SMK saja. Bukan hanya itu, di tengah masyarakat kita yang ketika ikut dalam kontestasi calon legislatif, banyak yang bergelar sarjana dikalahkan oleh calon legislatif yang hanya ijazah paket C. Ironis bukan?

Ya, sangat Ironis. Banyak realitas yang sangat menyakitkan hati ketika berhadapan dengan kondisi ini. Rasa kecewa dan sedih dialami bisa dialami oleh para pencari kerja yang memenuhi kriteria, namun gagal karena tidak punya relasi atau orang dalam yang bisa meloloskan atau mendapatkan pekerjaan. Walaupun kita sangat setuju bahwa SDM yang memiliki kompetensi unggul, andal bahkan produktif merupakan soko guru atau pilar yang sangat penting bagi organisasi, swasta atau pun lembaga-lembaga atau institusi-institusi Pemerinah. Karena SDM yang kompeten dan berkualitas itu sebagai soko guru atau pilar penting, menjalankan fungsi akselerasi pencapaian visi dan misi, serta tujuan dari organisasi atau institusi pemerintah, namun dalam realitas yang ada, khususnya di dalam lembaga pemerintah yang mengabaikan kriteria tersebut, karena kepentingan pribadi, keluarga, sanak dan kolega.

Nah, semua kita setuju bahwa SDM yang berkompeten dan berkualitas adalah kebutuhan utama bagi sebuah bangsa untuk mencapai tujuan menjadi negara yang maju, memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan andal. Oleh sebab itu, praktik-praktik yang merusak seperti menggunakan relasi, orang dalam, nepostime dan kepentingan politik penguasa seperti yang banyak terjadi selama ini, harus secara konsisten mengikuti kriteria yang ada. Semua harus berkomitmen untuk menghilangkan praktik curang dalam merekrut tenaga kerja yang akan menjadi penggerak dalam pembangunan yang akan mewujudkan terwujudnya visi Indonesia emas di tahun 2045 nanti. Bisakah?

Penulis adalah Pengamat Pendidikan, pegiat literasi, pensiunan guru yang kini tengah membangun rumah belajar bisnis di POTRET Gallery Banda Aceh

  • Bagikan