Demokrasi Politik; Pemimpin Menantang Rakyat

  • Bagikan
Demokrasi Politik; Pemimpin Menantang Rakyat

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Pada dasarnya kehidupan secara komprehensif dalam kehidupan bernegara memiliki sistem kehidupan diatur dengan ketentuan serta aturan hukum dan landasan universalitas selaras hak azasi manusia (HAM) yang dapat menciptakan kedamaian, keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik.

Dalam konteks kenegaraan dan kehidupan kebangsaan menghendaki wahana merupakan itikad untuk mengatur kehidupan yang sesungguhnya, ini dilaksanakan bagi kehidupan berbangsa serta bernegara, dengan menggunakan media politik yaitu pesta demokrasi formal untuk legitimasi terhadap eksistensi pemimpin dalam sebuah negara yang merdeka. Hal ini secara prinsipil adanya pesta demokrasi yang melibat seluruh elemen, unsur, kelembagaan, pemerintahan dan rakyat. Sehingga demokrasi yang merupakan representasi keterwakilan rakyat ini dilaksanakan dengan mengadakan pemilihan umum (Pemilu) sebagai sarana politik yang menghargai perbedaan, keberagaman, beda kehendak politik dan menghargai hak azasi manusia menunjukkan bahwa, setiap warga bangsa memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menentukan pilihan dalam konteks politik modern.

Aktivitas politik diatur dengan menggunakan konstitusi untuk mengatur kepentingan bersama dalam suatu negara bangsa melalui pemilihan menetapkan pemimpin, ini erat kaitannya dengan penentuan, pengangkatan serta memberikan mandat pemimpin politik berlandaskan konstitusi yang dipahami bersama untuk kepentingan seluruh warga bangsa. Karena itu kehidupan masyarakat modern yang memahami politik saat ini dengan menggunakan sistem demokrasi sebagai salah satu media penting untuk menentukan pemimpin sesuai dengan konstitusi serta aturan undang-undang politik yang sah.

Makanya menurut Jennings (1944) adalah, memandang kepemimpinan muncul sebagai suatu cara berinteraksi yang melibatkan tingkah laku oleh dan untuk individu. Selanjutnya pemimpin itu berusaha untuk adanya tujuan untuk kepentingan bersama seluruh warga bangsa agar menjadi lebih baik yang diurus dan dioraginisir dengan kemampuan seorang pemimpin yang memiliki kompetensi, integritas serta bertanggung jawab. Dengan demikian, berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi, O’Donnel (1955) memandang kepemimpinan sebagai aktivitas membujuk manusia untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Sehingga, kepemimpinan merupakan proses untuk mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.

Makanya kepemimpinan negara secara demokratis mengurus kompleksitas kehidupan masyarakat, rakyat serta seluruh elemen institusi juga memiliki kemampuan mengurus berbagai aktivitas untuk mencapai tujuan bersama. Secara tegas bahwa, pemimpin juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara dukungan dan kerjasama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi (Veithzal Rivai, 2007: 3).

Selanjutnya, berkaitan dengan kompleksitas persoalan yang mesti dilaksanakan, diatur, diatasi serta menjadi tanggung jawab pemimpin berhubungan dengan diskursus kepemimpinan nasional merupakan fokus perhatian, demikian kompleks serta komprehensif. Demikian juga, periodesasi rezim pemerintahan terhadap suprastruktur politik yang memberikan gambaran kemestian seorang pemimpin pada era demokrasi politik modern, legalitas melalui pelaksanaan Pemilu sebagai terminal tahapannya, kemudian proses politik yang demokratis menjadi rujukan memahami kaidah kepemimpinan universal.

Hal ini sesuai dengan pemikiran dari Marcidies dan Hulliung (1996) adalah, esensi kepemimpinan politik memiliki universalitas bila dilihat melalui kerangka ideologi politik. Sehingga dipahami, kepemimpinan berfokus kepada adanya pengakuan politik terhadap moralitas dan kapabilitasnya, berhubungan erat dengan power, political authority dan legitimation. Ini berkaitan dengan lingkungan ideologis terhadap rakyat yaitu political action dan communication. Sehingga kepemimpinan politik tersebut berhubungan dengan budaya politi, etika-moral serta memiliki hubungan baik dengan rakyat secara arif dan bijaksana.

Makanya, antara pemimpin politik dan rakyat memiliki hubungan harmonis serta mesra, saling menghargai, menghormati sesuai standar hak azasi manusia (HAM) juga menjadikan rakyat sebagai pendukung resmi secara legalitas politik. Maka sinergisitas tanpa reserve, tidak saling berlawanan serta menantang diantaranya, ataupun memperlihatkan kekuasaan, power, kedaulatan serta wewenang dengan kekuasaan politik yang berlebihan (abussed of power), sehingga kemitraannya menjadi rusak dan tidak harmonis.

Dengan pemahaman universalitas serta HAM tidak berlaku pertentangan antara pemimpin dengan rakyat, ataupun sebaliknya rakyat dengan pemimpin, bahkan tidak saling mengancam. Jika berlaku pengancaman serta tidak menghargai satu sama lain bermakna ada permasalahan serius dalam kehidupan demokrasi politik, ataupun salah satu merasa seolah-olah lebih berkuasa dan memiliki wewenang diantara satu dengan lainnya. Dengan demikian, kondisi ini bukanlah perihal yang diharapkan dalam kehidupan demokrasi politik untuk menciptakan maupun memperjuangkan kehidupan rakyat yang lebih baik, makmur serta sejahtera.

Dapat dinyatakan ada disharmonisasi yang menghambat maupun tersumbatnya hubungan timbal balik, penyebabnya bisa saja pemimpin semakin memperlihatkan kediktatoran dan semua dapat ditentukan dengan kekuasaannya, tidak menghargai hak universal rakyat, menipu, berbohong, melanggar hukum, mengangkangi etika-moral, memperlakukan rakyat sebagai manusia jajahannya, bahkan jika berbeda pendapat serta keinginan politik berani menyataakan kata “bunuh atau tembak” dengan menggunanakan alat negara, juga “gebuk dan gigit dengan cara pemimpin” yang brutal. Ini semua demi usaha mempertahankan kekuasaan, kewenangan dan mewariskan sikap kepemimpinan yang otoritarian dan diktator dengan menggunakan infrastruktur dan suprastruktur alat politik kenegaraan yang diatur serta dikuasai pemimpin.

Demikian juga, rakyat yang diperlakukan tidak manusiawi selaras dengan standar universal (HAM) terus melakukan perlawanan, karena pemimpin terus berusaha mengkondisikan ketidakadilan, ketidakmerataan kehidupan, memperlakukan demokrasi dan hukum sesuai selera dan keinginannnya, perampasan hak kepemilikan tanah demi mengharapkan keuntungan secara ekonomi dan politik melalui oligarki dengan menggunakan idiom investasi “asing dan aseng”.

Bahkan saat ini ada juga perlawanan rakyat dan kesultanan tidak menerima pemimpin untuk menginjak kawasan tanah serta wilayahnya secara masif, karena kebencian dan perlawanan rakyat terhadap pemimpin yang didukung oleh Sultannya. Sehingga fenomena menunjukkan realitas kepemimpinan yang rendah atau tidak memiliki etika-moral, sehingga menimbulkan perlawanan serta pertentangan yang sangat merusak nilai-nilai demokratis, dimana keangkuhan pemimpin dibalas dengan perlawanan. Dengan demikian, adanya kekuasaan yang berlebihan dari pemimpin yang menantang rakyatnya dengan kekuasaan yang berlebihan dimilikinya, sesungguhnya ini dapat menjadikan perlawan rakyat secara masif, demokratis, juga tidak menjunjung tinggi etika-moral.

Dengan demikian, mesti disadari sesungguhnya dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan modern, cerminan pemimpin yang bijaksana adalah memiliki etika moral, menjunjung tinggi hak azasi manusia (HAM), bertanggung jawab meningkatkan taraf hidup, kemakmuran serta kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Namun demikian bukannya mengancam serta menantang rakyat jika tidak tunduk serta patuh dengan perilaku politik yang semakin menyengsarakan rakyat, kemudian menjadikan rakyat sebagai objek kepuasan serta kekuasan politiknya untuk mendapatkan legitimasi.

Selanjutnya “pemimpin buruk” yang sewenang-wenang dengan kekuasaannya, otoriter serta berwajah diktator untuk melampiaskan kekuasaannnya, bahkan berusaha menjadikan keturunan untuk ikut terlibat berkuasa secara politik (politik dinasti) dengan ketentuan hukum “demokrasi semu”, memghalalkan segala cara, memanfaatkan antek-antek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dengan kekuasaannya. Juga menggiring alat negara untuk berpihak, bahkan tanpa sungkan melaksanakan skenario kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif, agar memenangkan pesta demokrasi Pemilu yang semestinya jujur, adil, langsung umum dan rahasia. Ini sangat menantang rakyat.              

Penulis Dosen Pasca Sarjana MM FE Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh

  • Bagikan